Disadari atau tidak, wujud Tuhan pasti dirasakan oleh jiwa
manusia baik redup atau benderang. Manusia menyadari bahwa
suatu ketika dirinya akan mati. Kesadaran ini mengantarkannya
kepada pertanyaan tentang apa yang akan terjadi sesudah
kematian, bahkan menyebabkan manusia berusaha memperoleh
kedamaian dan keselamatan di negeri yang tak dikenal itu.
Wujud Tuhan yang dirasakan, serta hal-ihwal kematian,
merupakan dua dari sekian banyak faktor pendorong manusia
untuk berhubungan dengan Tuhan dan memperoleh informasi yang
pasti. Sayangnya tidak semua manusia mampu melakukan hal itu.
Namun, kemurahan Allah menyebabkan-Nya memilih manusia
tertentu untuk menyampaikan pesan-pesan Allah, baik untuk
periode dan masyarakat tertentu maupun untuk seluruh manusia
di setiap waktu dan tempat. Mereka yang mendapat tugas itulah
yang dinamai Nabi (penyampai berita) dan Rasul (Utusan Tuhan).
Jumlah mereka secara pasti tidak diketahui. Al-Quran hanya
menginforrnasikan bahwa,
"Tidak satu umat (kelompok masyarakat) pun kecuali telah
pernah diutus kepadanya seorang pembawa peringatan" (QS Fathir
[35]: 24).
Al-Quran juga menyatakan kepada Nabinya bahwa,
"Kami telah mengutus nabi-nabi sebelum kamu, di antara mereka
ada yang telah kami sampaikan kisahnya, dan ada pula yang
tidak Kami sampaikan kepadamu" (QS Al-Mu'min [40]: 78)
Al-Quran menyebutkan secara tegas nama dua puluh lima
Nabi/Rasul; delapan belas di antaranya disebutkan dalam
Al-Quran surat Al-An'am (6): 83-86, sisanya didapatkan dari
berbagai ayat.
Nabi Muhammad Saw. seperti dinyatakan Al-Quran surat Al-A'raf
(7): 158 -diutus kepada seluruh manusia, dan beliau merupakan
khataman nabiyyin (penutup para nabi) (QS Al-Ahzab [33]: 40).
Masa Prakelahiran
Al-Quran menegaskan bahwa para nabi telah pernah diangkat
janjinya untuk percaya dan membela Nabi Muhammad Saw.
"Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dan para Nabi,
'Sungguh apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan
hikmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul (Muhammad) yang
membenarkan kamu, niscaya kamu sungguh-sungguh akan beriman
kepadanya dan menolongnya.' Allah berfirman, 'Apakah kamu
mengakui dan menerima perjanjian-Ku yang demikian itu?' Mereka
menjawab, 'Kami mengakui.'" (QS Ali'Imran [3]: 81)
Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad Saw. bersabda,
"Demi (Allah) yang jiwaku berada pada genggaman-Nya,
seandainya Musa a.s. hidup, dia tidak dapat mengelak dan
mengikutiku" (HR Imam Ahmad)
Tidak jelas kapan dan bagaimana perjanjian yang disinggung
ayat tersebut. Setidaknya, ia mengisyaratkan bahwa Allah Swt.
telah merencanakan sesuatu untuk Nabi Muhammad Saw., jauh
sebelum kelahiran beliau. Karena itu pula sementara pakar
menyatakan bahwa kematian ayah beliau sebelum kelahiran,
kepergiannya ke pedesaan menjauhi ibunya, serta
ketidakmampuannya membaca dan menulis merupakan strategi yang
dipersiapkan Tuhan kepada beliau untuk dijadikan utusan-Nya
kepada seluruh umat manusia kelak.
Bahkan ulama lain meyakini bahwa pemilihan hal-hal tertentu
berkaitan dengan beliau bukanlah kebetulan. Misalnya bulan
lahir, hijrah, dan wafatnya pada bulan Rabi'ul Awal (musim
bunga). Nama beliau Muhammad (yang terpuji), ayahnya Abdullah
(hamba Allah) , ibunya Aminah (yang memberi rasa aman),
kakeknya yang bergelar Abdul Muththalib bernama Syaibah (orang
tua yang bijaksana), sedangkan yang membantu ibunya melahirkan
bernama Asy-Syifa' (yang sempurna dan sehat), serta yang
menyusukannya adalah Halimah As-Sa'diyah (yang lapang dada dan
mujur). Semuanya mengisyaratkan keistimewaan berkaitan dengan
Nabi Muhammad Saw. Makna nama-nama tersebut memiliki kaitan
yang erat dengan kepribadian Nabi Muhammad Saw.
Al-Quran surat Al-A'raf (7): 157 juga menginformasikan bahwa
Nabi Muhammad Saw. pada hakikatnya dikenal oleh orang-orang
Yahudi dan Nasrani. Hal ini antara lain disebabkan mereka
mendapatkan (nama)-nya tertulis di dalam Taurat dan Injil (QS
Al-A'raf [7]: 157).
Menurut pakar agama Islam, yang ditegaskan oleh Al-Quran itu,
dapat terbaca antara lain dalam Pertanjian Lama, Kitab Ulangan
33 ayat 2:
"... bahwa Tuhan telah datang dari Torsina, dan telah terbit
untuk mereka itu dari Seir, kelihatanlah ia dengan gemerlapan
cahayanya dari gunung Paran."
Pemahaman mereka berdasarkan analisis berikut: "Gunung Paran"
menurut Kitab Pertanjian Lama, Kejadian ayat 21, adalah tempat
putra Ibrahim -yakni Nabi Ismail- bersama ibunya Hajar
memperoleh air (Zam-Zam). Ini berarti bahwa tempat tersebut
adalah Makkah, dan dengan demikian yang tercantum dalam Kitab
Ulangan di atas mengisyaratkan tiga tempat terpancarnya cahaya
wahyu Ilahi: Thur Sina tempat Nabi Musa a.s., Seir tempat Nabi
Isa a.s. , dan Makkah tempat Nabi Muhammad Saw. Sejarah
membuktikan bahwa beliau satu-satunya Nabi dari Makkah.
Karena itu pula wajar jika Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 146
menyatakan bahkan mereka itu mengenalnya (Muhammad Saw.),
sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka, bahkan salah
seorang penganut agama Yahudi yang kemudian masuk Islam, yaitu
Abdullah bin Salam pernah berkata, "Kami lebih mengenal dan
lebih yakin tentang kenabian Muhammad Saw. daripada pengenalan
dan keyakinan kami tentang anak-anak kami. Siapa tahu pasangan
kami menyeleweng."
Masa Prakenabian
Ada beberapa ayat Al-Quran yang berbicara tentang Nabi
Muhammad Saw. sebelum kenabian beliau. Antara lain,
"Bukankah Dia (Tuhan) mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu
Dia melindungimu, dan Dia mendapatimu bimbang, lalu Dia
memberi petunjuk kepadamu, dan Dia mendapatimu dalam keadaan
kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan?" (QS Al-Dhuha [93]:
6-8).
Beliau yatim sejak di dalam kandungan, kemudian dipelihara dan
dilindungi oleh paman dan kakeknya. Beliau hidup di dalam
keresahan dan kebimbangan melihat sikap masyarakatnya, lalu
Allah memberinya petunjuk, dan mengangkatnya sebagai Nabi dan
Rasul. Beliau hidup miskin karena ayahnya tidak meninggalkan
warisan untuknya, kecuali beberapa ekor kambing dan harta
lainnya yang tidak berarti. Tetapi Allah memberinya kecukupan,
khususnya menjelang dan saat hidup berumah tangga dengan
istrinya, Khadijah a.s.
Ayat lain yang oleh ulama dianggap berbicara tentang Nabi
Muhammad Saw. pada masa kanak-kanaknya, adalah surat Alam
Nasyrah ayat pertama:
"Bukankah Kami (Tuhan) telah melapangkan dada untukmu?"
Sebagian ulama mengartikan kata nasyrah dengan
"memotong/membedah." Memang, bila dikaitkan dengan sesuatu
yang bersifat materi, artinya demikian. Apabila dikaitkan
dengan sesuatu yang bersifat nonmateri, kata itu mengandung
arti membuka, memberi pemahaman, menganugerahkan ketenangan
dan semaknanya.
Yang mengaitkan dengan hal-hal materi berpendapat bahwa ayat
ini berbicara tentang "pembedahan" yang pernah dilakukan oleh
para malaikat terhadap Nabi Muhammad Saw. kala beliau remaja.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh mufasir An
-Naisaburi.
Tetapi sepanjang penelitian penulis kata tersebut dengan
berbagai bentuknya terulang sebanyak 5 kali, dan tidak satu
pun yang digunakan dengan arti harfiah, apalagi bermakna
pembedahan. Akan lebih jelas lagi jika hal itu disejajarkan
dengan ayat yang berbicara tentang doa Nabi Musa a.s. di dalam
Al-Quran.
"Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku
urusanku dan lepaskanlah kekakuan lidahku, supaya mereka
mengerti perkataanku" (QS Thaha [20]: 25-28)
Selanjutnya Al-Quran menegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak
pernah membaca satu kitab atau menulis satu kata sebelum
datangnya wahyu Al-Quran.
"Engkau tidak pernah membaca satu kitab pun sebelumnya
(Al-Quran), tidak juga menulis satu tulisan dengan tanganmu,
(andai kata kamu pernah membaca dan menulis) pasti akan
benar-benar ragulah orang yang mengingkari-(mu)" (QS
Al-'Ankabut [29]: 48).
Ayat ini secara pasti menyatakan bahwa beliau Saw. adalah
orang yang tidak pandai membaca dan menulis. Banyak ulama yang
memahami bahwa kendatipun kemudian Nabi Saw. menganjurkan
umatnya belajar membaca dan menulis, namun beliau sendiri
tidak melakukannya, karena Allah Swt. ingin menjadikan beliau
sebagai bukti bahwa informasi yang diperolehnya benar-benar
bukan bersumber dari manusia, melainkan dari Allah Swt.
Ada juga ulama yang memahami bahwa ketidakmampuan beliau
membaca hanya terbatas sampai sebelum terbukti kebenaran
ajaran Islam. Setelah kebenaran Islam terbukti -setelah hijrah
ke Madinah- beliau telah pandai membaca. Menurut pendukungnya
ide ini dikuatkan antara lain oleh kata "sebelumnya" yang
terdapat pada ayat di atas.
Memang, kata ummi hanya ditemukan dua kali dalam Al-Quran (QS
Al-A'raf [7] 157 dan 158) , dan keduanya menjadi sifat Nabi
Muhammad Saw. Memang kedua ayat itu turun di Makkah, meskipun
ada juga ayat lain yang turun di Madinah menyatakan,
"Dia (Allah) yang mengutus kepada masyarakat ummiyyin (buta
huruf), seorang Rasul di antara mereka" (QS Al-Jum'ah [62]: 2)
Di sisi lain, harus disadari bahwa masyarakat beliau ketika
itu menganggap kemampuan menulis sebagai bukti kelemahan
seseorang.
Pada masa itu sarana tulis-menulis amat langka, sehingga
masyarakat amat mengandalkan hafalan. Seseorang yang menulis
dianggap tidak memiliki kemampuan menghafal, dan ini merupakan
kekurangan. Penyair Zurrummah pernah ditemukan sedang menulis,
dan ketika ia sadar bahwa ada orang yang melihatnya, ia
bermohon,
"Jangan beri tahu siapa pun, karena ini (kemampuan menulis)
bagi kami adalah aib."
Memang, nilai-nilai dalam masyarakat berubah, sehingga apa
yang dianggap baik pada hari ini, boleh jadi sebelumnya
dinilai buruk. Pada masa kini kemampuan menghafal tidak
sepenting masa lalu, karena sarana tulis-menulis dengan mudah
diperoleh.
Masa Kenabian
Pada usia 40 tahun, yang disebut oleh Al-Quran surat Al-Ahqaf
ayat 15 sebagai usia kesempurnaan, Muhammad Saw. diangkat
menjadi Nabi. Ditandai dengan turunnya wahyu pertama Iqra'
bismi Rabbik.
Sebelumnya beliau tidak pernah menduga akan mendapat tugas dan
kedudukan yang demikian terhormat. Karena itu ditemukan
ayat-ayat Al-Quran yang menguraikan sikap beliau terhadap
wahyu dan memberi kesan bahwa pada mulanya beliau sendiri
"ragu" dan gelisah mengenai hal yang dialaminya. QS Yunus
(10): 94 mengisyaratkan bahwa,
"Kalau engkau ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepadamu,
maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Kitab Suci
sebelum kamu (QS Yunus [10]: 94).
Kegelisahan itu bertambah besar pada saat wahyu yang beliau
nanti-nantikan tidak kunjung datang, hingga menurut beberapa
riwayat beliau sedemikian gelisah, sampai-sampai konon beliau
hampir saja mencelakakan dirinya. Rupanya Allah Swt. bermaksud
menjadikan beliau lebih merindukan lagi "sang kekasih dan
firman-firman-Nya" agar semakin mantap cinta beliau
kepada-Nya.
Surat Adh-Dhuha menyatakan sekelumit hal itu, sekaligus
sekilas kedudukan beliau di sisi Allah. Surat ini turun
berkenaan dengan kegelisahan Nabi Muhammad Saw. karena
ketidakhadiran Malaikat Jibril membawa wahyu setelah sekian
kali sebelumnya datang.
"Demi adh-dhuha, dan malam ketika hening. Tuhanmu tidak
meninggalkan kamu dan tidak pula membenci-(mu dan siapa pun).
Mengapa adh-dhuha -yakni "matahari ketika naik
sepenggalah"-yang dipilih berkaitan dengan wahyu-wahyu yang
diterima oleh Nabi Saw., atau apakah adh-dhuha ada kaitannya
dengan ketidakhadiran wahyu-wahyu Ilahi?
Ketika matahari naik sepenggalah, cahayanya memancar menerangi
seluruh penjuru. Cahayanya tidak terlalu terik, sehingga tidak
menyebabkan gangguan sedikit pun, bahkan panasnya memberikan
kesegaran, kenyamanan, dan kesehatan.
Di sini Allah Swt. melambangkan kehadiran wahyu selama ini
sebagai kehadiran cahaya matahari yang sinarnya demikian
jelas, menyegarkan, dan menyenangkan. Sedangkan ketidakhadiran
wahyu dinyatakan dengan kalimat, "Demi malam ketika hening."
Dari kedua hal yang bertolak belakang itu, Allah menafikan
dugaan atau tanggapan yang menyatakan bahwa Muhammad Saw.
telah ditinggalkan oleh Tuhannya, atau bahkan Tuhan telah
membencinya. Kehadiran malam tidak menjadikan seseorang boleh
berkata bahwa matahari tidak akan terbit lagi, karena
kenyataan sehari-hari membuktikan kekeliruan ucapan seperti
itu. Nah, ketidakhadiran wahyu beberapa saat tidak dapat
dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa wahyu tidak akan hadir
lagi atau Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya.
Ketidakhadiran antara lain menjadi isyarat kepada Nabi
Muhammad Saw. untuk beristirahat, karena "malam" dijadikan
Tuhan sebagai waktu "beristirahat."
Dapat juga dikatakan bahwa ketidakhadiran wahyu justru pada
saat Nabi Muhammad menanti-nantikannya, membuktikan bahwa
wahyu adalah wewenang Tuhan sendiri. Walaupun keinginan Nabi
Saw. meluap-luap menantikan kehadirannya, namun jika Tuhan
tidak menghendaki, wahyu tidak akan datang. Ini membuktikan
bahwa wahyu bukan merupakan hasil renungan atau bisikan jiwa.
Kenabian Muhammad Saw. bukan merupakan hal yang baru bagi umat
manusia. Nabi Muhammad secara tegas diperintahkan untuk
menyatakan hal itu,
"Katakanlah, 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara
rasul-rasul. Aku tidak mengetahui yang diperbuat terhadapku,
tidak juga terhadapmu. Aku tidak lain hanya mengikuti yang
diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain seorang pemberi
peringatan yang menjelaskan.'" (QS Al-Ahqaf [46]: 9)
Namun demikian' kenabian Muhammad Saw. berbeda dengan kenabian
utusan Tuhan yang lain. Sebelum beliau, para Nabi dan Rasul
diutus untuk masyarakat dan waktu tertentu, tetapi Nabi
Muhammad Saw. diutus untuk seluruh manusia di setiap waktu dan
tempat,
"Katakanlah (hai Muhammad), 'Wahai seluruh manusia!
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kamu semua'" (QS
Al-A'raf [7]: 158)
Ada sementara orientalis yang menduga bahwa pada mulanya Nabi
Muhammad Saw. hanya bermaksud mengajarkan agamanya kepada
orang-orang Arab, tetapi setelah beliau berhasil di Madinah,
beliau memperluas dakwahnya untuk seluruh manusia.
Pendapat ini sungguh keliru, karena sejak di Makkah beliau
telah menegaskan bahwa beliau diutus untuk seluruh manusia.
"Katakanlah (hai Muhammad), 'Wahai seluruh manusia!
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kamu semua.'" (QS
Al-A'raf [7]: 158).
Ayat ini turun ketika Nabi Saw. sedang berada di Makkah,
bahkan menurut sementara ulama, semua ayat Al-Quran yang
dimulai dengan panggilan "Wahai seluruh manusia," semuanya
turun di Makkah kecuali beberapa ayat.
Perbedaan yang lain adalah para nabi sebelum beliau selalu
mengaitkan kenabian dengan hal-hal yang bersifat
suprarasional, baik berbentuk sihir, pengetahuan gaib,
mimpi-mimpi, dan lain-lain.
Isa a.s. misalnya bersabda,
"Sesungguhnya Aku telah datang kepadamu dengan membawa bukti
(mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat burung untuk kamu
dari tanah, kemudian aku meniupnya sehingga ia menjadi burung
dengan seizin Allah, dan aku menyembuhkan orang yang buta
sejak lahir, dan orang yang berpenyakit sopak (lepra), dan aku
menghidupkan orang mati dengan seizin Allah, dan aku kabarkan
kepadamu yang kamu makan dan yang kamu simpan di rumahmu.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah suatu tanda (mukjizat
tentang kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu
sungguh-sungguh beriman." (QS Ali 'Imran [3]: 49)
Dalam Perjanjian Baru, Isa a.s. juga menyatakan, "Jangan
percaya padaku, jika aku tidak mengerjakan pekerjaan Bapak
..."
Demikian halnya Isa a.s. dan para nabi sebelumnya. Oleh karena
itu, ketika masyarakat Arab Quraisy meminta bukti-bukti yang
bersifat suprarasional, Nabi Muhammad Saw. diperintahkan untuk
menyampaikan kalimat-kalimat berikut:
"Katakanlah, 'Sesungguhnya bukti-bukti itu bersumber dari
Allah, sedang aku hanya pembawa peringatan yang menjelaskan.'"
(QS Al-'Ankabut [29]: 50)
Dr. Nazme Luke, seorang pendeta Mesir, berkomentar bahwa
menghidupkan orang mati, mengembalikan penglihatan orang buta,
dan lain-lain adalah hal-hal yang sangat mengagumkan, tetapi
tidak berarti apa-apa jika digunakan untuk membuktikan bahwa
2+2 = 5.
Masyarakat pada masa Isa a.s. membutuhkan bukti-bukti yang
bersifat suprarasional, karena mereka belum mencapai tingkat
kedewasan yang memadai. Hal ini, tulisnya, sama dengan
membujuk anak kecil untuk makan, padahal jika telah dewasa, ia
akan makan tanpa dibujuk.
Memang Nabi Muhammad Saw. tidak mengandalkan hal-hal yang
bersifat suprarasional sebagai bukti kebenaran ajarannya.
Bukti kebenaran kenabian dan kerasulannya adalah Al-Quran dan
diri beliau sendiri yang ummi (tidak pandai membaca dan
menulis). Para pakar bersepakat dengan menggunakan berbagai
tolok ukur untuk mengakui beliau sebagai manusia teragung yang
pernah dikenal oleh sejarah kemanusiaan
Demikianlah kesimpulan Thomas Carlyle dalam bukunya On Heroes,
Hero, Worship and the Heros in History dengan menggunakan
tolok ukur kepahlawanan. Demikian pula Will Durant dalam The
Story of Civilization in the World dengan tolok ukur hasil
karya, Marcus Dodds dalam Muhammad, Buddha, and Christ, dengan
tolok ukur keberanian moral, Nazme Luke dalam Muhammad
Al-Rasul wa Al-Risalah dengan tolok ukur metode pembuktian
ajaran, serta Michael Hart dalam bukunya tentang seratus tokoh
dunia yang paling berpengaruh dalam sejarah, dengan tolok ukur
pengaruh serta sederetan pakar lainnya.
"Mustahil bagi siapa pun yang mempelajari kehidupan dan
karakter Muhammad (Saw.), hanya mempunyai perasaan hormat saja
terhadap Nabi mulia itu. Ia akan melampauinya sehingga
meyakini bahwa beliau adalah salah seorang Nabi terbesar dari
sang Pencipta," demikian Annie Besant menulis dalam The Life
and Teachings of Muhammad.
Dalam konteks ini Al-Quran surat Alam Nasyrah ayat 4
menyatakan,
"Sesungguhnya Kami pasti akan meninggikan namamu."
Dalam ayat lain dinyatakan:
"Wahai seluruh manusia, telah datang kepada kamu bukti yang
sangat jelas dan Tuhanmu (yakni Muhammad Saw.), dan Kami telah
(pula) menurunkan cahaya yang terang benderang (Al-Quran)" (QS
Al-Nisa' [4]: 174).
Akhlak dan Fungsi Kenabian Muhammad Saw.
Al-Quran mengakui secara tegas bahwa Nabi Muhammad Saw.
memiliki akhlak yang sangat agung. Bahkan dapat dikatakan
bahwa konsideran pengangkatan beliau sebagai nabi adalah
keluhuran budi pekertinya. Hal ini dipahami dari wahyu ketiga
yang antara lain menyatakan bahwa:
"Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang
agung" (QS Al-Qalam [68]: 4).
Kata "di atas" tentu mempunyai makna yang sangat dalam,
melebihi kata lain, misalnya, pada tahap/dalam keadaan akhlak
mulia
Seperti dikemukakan di atas, Al-Quran surat Al-An'am ayat 90
menyebutkan dalam rangkaian ayat-ayatnya 18 nama Nabi/Rasul.
Setelah kedelapan belas nama disebut, Allah berpesan kepada
Nabi Muhammad Saw.,
"Mereka itulah yang telah memperoleh petunjuk dari Allah, maka
hendaknya kamu meneladani petunjuk yang mereka peroleh."
Ulama-ulama tafsir menyatakan bahwa Nabi Saw. pasti
memperhatikan benar pesan ini. Hal itu terbukti antara lain,
ketika salah seorang pengikutnya mengecam kebijaksanaan beliau
saat membagi harta rampasan perang, beliau menahan amarahnya
dan menyabarkan diri dengan berkata,
"Semoga Allah merahmati Musa a s. Dia telah diganggu melebihi
gangguan yang kualami ini, dan dia bersabar (maka aku lebih
wajar bersabar daripada Musa a s.)."
Karena itu pula sebagian ulama tafsir menyimpulkan, bahwa
pastilah Nabi Muhammad Saw. telah meneladani sifat-sifat
terpuji para nabi sebelum beliau
Nabi Nuh a.s. dikenal sebagai seorang yang gigih dan tabah
dalam berdakwah. Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai seorang
yang amat pemurah, serta amat tekun bermujahadah mendekatkan
diri kepada Allah. Nabi Daud a.s. dikenal sebagai nabi yang
amat menonjolkan rasa syukur serta penghargaannya terhadap
nikmat Allah. Nabi Zakaria a.s., Yahya a.s., dan Isa a.s.,
adalah nabi-nabi yang berupaya menghindari kenikmatan dunia
demi mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Nabi Yusuf a.s. terkenal gagah, dan amat bersyukur dalam
nikmat dan bersabar menahan cobaan. Nabi Yunus a. s. diketahui
sebagai nabi yang amat khusyuk ketika berdoa, Nabi Musa
terbukti sebagai nabi yang berani dan memiliki ketegasan, Nabi
Harun a.s. sebaliknya, adalah nabi yang penuh dengan
kelemahlembutan. Demikian seterusnya, dan Nabi Muhammad Saw.
meneladani semua keistimewaan mereka itu.
Ada beberapa sifat Nabi Muhammad Saw. yang ditekankan oleh
Al-Quran, antara lain,
"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu
sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu (umat manusia),
serta sangat menginginkan kebaikan untuk kamu semua, lagi amat
tinggi belas kasihannya serta penyayang terhadap orang-orang
mukmin" (QS Al-Tawbah [9]: 128).
Begitu besar perhatiannya kepada umat manusia, sehingga
hampir-hampir saja ia mencelakakan diri demi mengajak mereka
beriman (baca QS Syu'ara [26]: 3). Begitu luas rahmat dan
kasih sayang yang dibawanya, sehingga menyentuh manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk-makhluk tak bernyawa.
Sebelum Eropa memperkenalkan Organisasi Pencinta Binatang,
Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan,
"Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap
binatang-binatang, kendarailah dan makanlah dengan baik."
"Seorang wanita terjerumus ke dalam neraka karena seekor
kucing yang dikurungnya."
"Seorang wanita yang bergelimang dosa diampuni Tuhan karena
memberi minum seekor anjing yang kehausan."
Rahmat dan kasih sayang yang dicurahkannya sampai pula pada
benda-benda tak bernyawa. Susu, gelas, cermin, tikar, perisai,
pedang, dan sebagainya, semuanya beliau beri nama, seakan-akan
benda-benda tak bernyawa itu mempunyai kepribadian yang
membutuhkan uluran tangan, rahmat, kasih sayang, dan
persahabatan.
Diakui bahwa Muhammad Saw. diperintahkan Allah untuk
menegaskan bahwa,
"Aku tidak lain kecuali manusia seperti kamu, (tetapi aku)
diberi wahyu ..." (QS Al-Kahf [18]: 110).
Beliau adalah manusia seperti manusia yang lain dalam naluri,
fungsi fisik, dan kebutuhannya, tetapi bukan dalam sifat-sifat
dan keagungannya, karena beliau mendapat bimbingan Tuhan dan
kedudukan istimewa di sisi-Nya, sedang yang lain tidak
demikian. Seperti halnya permata adalah jenis batu yang sama
jenisnya dengan batu yang di jalan, tetapi ia memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh batu-batu lain. Dalam
bahasa tafsir Al-Quran, "Yang sama dengan manusia lain adalah
basyariyah bukan pada insaniyah." Perhatikan bunyi firman
tadi: basyarun mitslukum bukan insan mitslukum.
Atas dasar sifat-sifat yang agung dan menyeluruh itu, Allah
Swt. menjadikan beliau sebagai teladan yang baik sekaligus
sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi peringatan)
"Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi
yang mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran di hari
kemudian." (QS Al-Ahzab [33]: 2l).
Keteladanan tersebut dapat dilakukan oleh setiap manusia,
karena beliau telah memiliki segala sifat terpuji yang dapat
dimiliki oleh manusia
Dalam konteks ini, Abbas Al-Aqqad, seorang pakar Muslim
kontemporer menguraikan bahwa manusia dapat diklasifikasikan
ke dalam empat tipe: seniman, pemikir, pekerta, dan yang tekun
beribadah.
Sejarah hidup Nabi Muhammad Saw. membuktikan bahwa beliau
menghimpun dan mencapai puncak keempat macam manusia tersebut.
Karya-karyanya, ibadahnya, seni bahasa yang dikuasainya, serta
pemikiran-pemikirannya sungguh mengagumkan setiap orang yang
bersikap objektif. Karena itu pula seorang Muslim akan kagum
berganda kepada beliau, sekali pada saat memandangnya melalui
kacamata ilmu dan kemanusiaan, dan kedua kali pada saat
memandangnya dengan kacamata iman dan agama.
Banyak fungsi yang ditetapkan Allah bagi Nabi Muhammad Saw.,
antara lain sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan) (QS Al-Fath [48]: 8), yang pada akhirnya bermuara
pada penyebarluasan rahmat bagi alam semesta.
Di sini fungsi beliau sebagai syahid/syahid akan dijelaskan
agak mendalam.
Demikian itulah Kami jadikan kamu umat pertengahan, agar kamu
menjadi saksi terhadap manusia, dan agar Rasul (Muhammad Saw.)
menjadi saksi terhadap kamu ... (QS Al-Baqarah [2]: 143)
Kata syahid/syahid antara lain berarti "menyaksikan," baik
dengan pandangan mata maupun dengan pandangan hati
(pengetahuan). Ayat itu menjelaskan keberadaan umat Islam pada
posisi tengah, agar mereka tidak hanyut pada pengaruh
kebendaan, tidak pula mengantarkannya membubung tinggi ke alam
ruhani sehingga tidak berpijak lagi di bumi. Mereka berada di
antara keduanya (posisi tengah), sehingga mereka dapat menjadi
saksi dalam arti patron/teladan dan skala kebenaran bagi
umat-umat yang lain, sedangkan Rasulullah Saw. yang juga
berkedudukan sebagai syahid (saksi) adalah patron dan teladan
bagi umat Islam. Kendati ada juga yang berpendapat bahwa kata
tersebut berarti bahwa Nabi Muhammad Saw. akan menjadi saksi
di hari kemudian terhadap umatnya dan umat-umat terdahulu,
seperti bunyi firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Nisa' (4):
41:
Maka bagaimanakah halnya orang-orang kafir nanti apabila Kami
menghadirkan seorang saksi dari tiap-tiap umat dan Kami
hadirkan pula engkau (hai Muhammad) sebagai saksi atas mereka
(QS Al-Nisa, [4]: 41).
Tingkat syahadat (persaksian) hanya diraih oleh mereka yang
menelusuri jalan lurus (shirath al-mustaqim), sehingga mereka
mampu menyaksikan yang tersirat di balik yang tersurat. Mereka
yang menurut Ibnu Sina disebut "orang yang arif," mampu
memandang rahasia Tuhan yang terbentang melalu qudrat-Nya.
Tokoh dari segala saksi adalah Rasulullah Muhammad Saw. yang
secara tegas di dalam ayat ini dinyatakan "diutus untuk
menjadi syahid (saksi)."
Sikap Allah Swt. terhadap Nabi Muhammad Saw.
Dari penelusuran terhadap ayat-ayat Al-Quran ditemukan bahwa
para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. telah diseru oleh Allah
dengan nama-nama mereka; Ya Adam..., Ya Musa..., Ya Isa...,
dan sebagainya. Tetapi terhadap Nabi Muhammad Saw., Allah Swt.
sering memanggilnya dengan panggilan kemuliaan, seperti Ya
ayyuhan Nabi..., Ya ayyuhar Rasul..., atau memanggilnya dengan
panggilan-panggilan mesra, seperti Ya ayyuhal muddatstsir,
atau ya ayyuhal muzzammil (wahai orang yang berselimut). Kalau
pun ada ayat yang menyebut namanya, nama tersebut dibarengi
dengan gelar kehormatan. Perhatikan firman-Nya dalam surat
Ali-'Imran (3): 144, Al-Ahzab (33): 40, Al-Fat-h (48): 29, dan
Al-Shaff (61): 6.
Dalam konteks ini dapat dimengerti mengapa Al-Quran berpesan
kepada kaum mukmin.
"Janganlah kamu menjadikan panggilan kepada Rasul di antara
kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang
lain... (QS Al-Nur [24]: 63).
Sikap Allah kepada Rasul Saw. dapat juga dilihat dengan
membandingkan sikap-Nya terhadap Musa a.s.
Nabi Musa a.s. bermohon agar Allah menganugerahkan kepadanya
kelapangan dada, serta memohon agar Allah memudahkan segala
persoalannya.
"Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah untukku
urusanku (QS Thaha [20]: 25-26).
Sedangkan Nabi Muhammad Saw. memperoleh anugerah kelapangan
dada tanpa mengajukan permohonan. Perhatikan firman Allah
dalam surat Alam Nasyrah, Bukankah Kami telah melapangkan
dadamu? (QS Alam Nasyrah [94]: 1).
Dapat diambil kesimpulan bahwa yang diberi tanpa bermohon
tentunya lebih dicintai daripada yang bermohon, baik
permohonannya dikabulkan, lebih-lebih yang tidak.
Permohonan Nabi Musa a.s. adalah agar urusannya dipermudah,
sedangkan Nabi Muhammad Saw. bukan sekadar urusan yang
dimudahkan Tuhan, melainkan beliau sendiri yang dianugerahi
kemudahan. Sehingga betapapun sulitnya persoalan yang dihadapi
-dengan pertolongan Allah-beliau akan mampu menyelesaikannya.
Mengapa demikian? Karena Allah menyatakan kepada Nabi Muhammad
dalam surat Al-A'la (87): 8:
"Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah."
Mungkin saja urusan telah mudah, namun seseorang, karena satu
dan lain sebab-tidak mampu menghadapinya. Tetapi jika yang
bersangkutan telah memperoleh kemudahan, walaupun sulit urusan
tetap akan terselesaikan.
Keistimewaan yang dimiliki beliau tidak berhenti di sana saja.
Juga dengan keistimewaan kedua, yaitu "jalan yang beliau
tempuh selalu dimudahkan Tuhan" sebagaimana tersurat dalam
firman Allah, "Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah."
(QS Al-A'la [87]: 8).
Dari sini jelas bahwa apa yang diperoleh oleh Nabi Muhammad
Saw. melebihi apa yang diperoleh oleh Nabi Musa a.s., karena
beliau tanpa bermohon pun memperoleh kemudahan berganda,
sedangkan Nabi Musa a.s. baru memperoleh anugerah "kemudahan
urusan" setelah mengajukan permohonannya.
Itu bukan berarti bahwa Nabi Muhammad Saw. dimanjakan oleh
Allah, sehingga beliau tidak akan ditegur apabila melakukan
sesuatu yang kurang wajar sebagai manusia pilihan.
Dari Al-Quran ditemukan sekian banyak teguran-teguran Allah
kepada beliau, dari yang sangat tegas hingga yang lemah lembut
Perhatikan teguran firman Allah ketika beliau memberi izin
kepada beberapa orang munafik untuk tidak ikut berperang.
"Allah telah memaafkan kamu. Mengapa engkau mengizinkan
mereka? (Seharusnya izin itu engkau berikan) setelah terbukti
bagimu siapa yang berbohong dalam alasannya, dan siapa pula
yang berkata benar (QS Al-Tawbah [9]: 43)
Dalam ayat tersebut Allah mendahulukan penegasan bahwa beliau
telah dimaafkan, baru kemudian disebutkan "kekeliruannya."
Teguran keras baru akan diberikan kepada beliau terhadap
ucapan yang mengesankan bahwa beliau mengetahui secara pasti
orang yang diampuni Allah, dan yang akan disiksa-Nya, maupun
ketika beliau merasa dapat menetapkan siapa yang berhak
disiksa.
"Engkau tidak mempunyai sedikit urusan pun. (Apakah) Allah
menerima tobat mereka atau menyiksa mereka (QS Ali 'Imran [3]:
128).
Perhatikan teguran Allah dalam surat 'Abasa ayat 1-2 kepada
Nabi Muhammad Saw., yang tidak mau melayani orang buta yang
datang meminta untuk belajar pada saat Nabi Saw. sedang
melakukan pembicaraan dengan tokoh-tokoh kaum musyrik di
Makkah
"Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah
datang seorang buta kepadanya..."
Teguran ini dikemukakan dengan rangkaian sepuluh ayat, dan
diakhiri dengan:
"Sekali-kali jangan (demikian). Sesungguhnya ajaran-ajaran
Allah adalah suatu peringatan" (QS 'Abasa [80]: 11).
Nabi berpaling dan sekadar bermuka masam ketika seseorang
mengganggu konsentrasi dan pembicaraan serius pada saat rapat;
hakikatnya dapat dinilai sudah sangat baik bila dikerjakan
oleh manusia biasa. Namun karena Muhammad Saw. adalah manusia
pilihan, sikap dernikian itu dinilai kurang tepat, yang dalam
istilah Al-Quran disebut zanb (dosa).
Dalam hal ini ulama memperkenalkan kaidah: Hasanat al-abrar,
sayyiat al-muqarrabin, yang berarti "kebajikan-kebajikan yang
dilakukan oleh orang-orang baik, (dapat dinilai sebagai) dosa
(bila diperbuat oleh) orang-orang yang dekat kepada Tuhan."
--oo0oo--
Disadari sepenuhnya bahwa uraian tentang Nabi Muhammad Saw.
amat panjang, yang dapat diperoleh secara tersirat maupun
tersurat dalam Al-Quran, maupun dari sunnah, riwayat, dan
pandangan para pakar. Tidak mungkin seseorang dapat menjangkau
dan menguraikan seluruhnya, karena itu sungguh tepat
kesimpulan yang diberikan oleh penyair Al-Bushiri,
"Batas pengetahuan tentang beliau, hanya bahwa beliau adalah
seorang manusia, dan bahwa beliau adalah sebaik-baik makhluk
Allah seluruhnya."
Allahumma shalli wa sallim 'alaih.
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
|