twitter
rss



MASUK MASJID

DO'A MASUK MASJID 01

اللَّهُمَّ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ.
ALLOHUMMAFTA_HLIII ABWAABA RO_HMATIK
Ya Alloh bukalah bagiku pintu-pintu rohmatmu.
رواه مسلم 1165 والنسائي 721
(HR Muslim no.1165 An-Nasa'y no.721)
& kitab Al-Adzkaar An-Nawawy halaman 32-33

DO'A MASUK MASJID 02
بِسْمِ اللهِ, وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ ,اللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ ذُنُوْبِيْ, وَافْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
BISMILLAH, WASSALAAMU 'ALAA ROSUULILLAH, ALLOHUMMAGHFIRLII DZUNUUBII,
WAFTA_HLIII ABWAABA RO_HMATIK
HR. IBNU MAAJAH NO. 763


KELUAR MASJID

DO'A KELUAR MASJID 01
اَللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ.
ALLOHUMMA INNIII AS'ALUKA MIN FADL-LIK
Ya Alloh, Aku mohon keutamaan dariMu
رواه مسلم 1165 والنسائي 721
(HR Muslim no.1165 An-Nasa'y no.721)
& kitab Al-Adzkaar An-Nawawy halaman 32-33

DO'A KELUAR MASJID 02
بِسْمِ اللهِ, وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ ,اللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ ذُنُوْبِيْ, وَافْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ فَضْلِكَ
BISMILLAH, WASSALAAMU 'ALAA ROSUULILLAH, ALLOHUMMAGHFIRLII DZUNUUBII,
WAFTA_HLII ABWAABA FADL-LIK
HR. IBNU MAAJAH NO. 763


KELAS IA
1. Imla’
2. Do’a-Doa
3. Belajar menulis pego
4. Fasholatan
KELAS IB
1. Imla’
2. Fasholatan
3. Belajar menulis pego
4.Do’a-doa
KELAS II 
1. Mutiara Hadits
2. Belajar menulis pego
3. Imla’
4. Fasholatan
5. Akhlaq (Udi Susilo)
KELAS III
1.Fiqih (Mabadi’ Fiqih Juz I)
2. Imlak
3. Bahasa Arab (Ro’sun Sirah)
4. Tauhid (Tauhid Jawan)
5. Akhlaq (Alala)
6. Khot (Belajar Kaligrafi Arab)
KELAS IV
 1. Fiqih (Mabadi’ Fiqih Juz II)
2. Bahasa Arab (Lugot Al Arobiyah Juz I)
3. Fathurrohman
4. Nahwu (Awamil)
5. Tauhid (Durus Al Aqoid Al Diniyah)
6. Akhlaq (Tanbih Al Muta’allim)
7. Tarikh (Nurul Yaqin)
KELAS V 
1. Fiqih (Mabadi’ Fiqih Juz III)
2. Tauhid (Durus Al Aqoid Al Diniyah Juz II)
3. Nahwu (Al Jurumiyah)
4. Bahasa Arab (Lughot Al Arobiyah Juz II)
5. Akhlaq (Akhlaq Al Banin/Banat Juz I)
6. Tarikh (Nurul Yaqin Juz I)
KELAS VI 
1. Fiqih (Mabadi’ Fiqih Juz IV)
2. Tauhid (Durus Al Aqoid Al Diniyah Juz III)
3. Nahwu (Al Imrithi)
4. Bahasa Arab (Lughot Al Arobiyah Juz II)
5. Akhlaq (Akhlaq Al Banin/Banat Juz II)
6. Tarikh (Nurul Yaqin Juz II)



 
“Selayang Pandang”
MADRASAH DINIYAH SHIROTHUL FUQOHA’ II

A.     MUQODDIMAH

Adanya pola – pola kebijakan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia telah membawa angin segar bagi pembangunan pendidikan. Secara umum peningkatan mutu pendidikan diarahkan pada :
1.       Pengembangan sumber daya manusia.
2.       Peningkatan mutu proses pembelajaran.
Karena itu suatu lembaga pendidikan dalam menyediakan tenaga pendidikan dan lulusan harus mendapat perhatian serius. Hal tersebut, tentu saja memerlukan SDM yang cukup besar dan jangka waktu yang panjang, serta progam yang berkelanjutan.

Madrasah Diniyah Shirothul Fuqoha’ II merupakan lembaga pendidikan non formal yang bernuansa islami bertekad merespon fenomena tersebut. Madrasah Diniyah Shirothul Fuqoha’ II didirikan pada tanggal 02 agustus 1995 dalam naungan dan koordinasi Pondok Pesantren Shirothul Fuqoha’ II. Keberadaannya telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang menekankan perjuangannya dalam konteks “Tafaqqohu Fiddin” pencetak kader muda yang berilmu dan beramal nyata.

Madrasah Diniyah Shirothul Fuqoha’ II memiliki ciri – ciri yaitu :
1.       Memiliki kurikulum ( program dan daftar pelajaran )
2.       Berkelas atau berjenjang
3.       Memilik administrasi seperti daftar hadir, buku raport, buku induk, jurnal, kalender pendidikan dan lain – lain.
4.       Melaksanakan sistem klasikal(bersama-sama) dan individu
5.       Ustadz dan Ustadzah bertanggung jawab terhadap kemajuan santri.

Dalam perkembangannya Madrasah Diniyah Shirothul Fuqoha’ II telah menunjukan kemajuan dalam segala hal walaupun jauh dari kesempurnaan. Namun demikian tetap mempunyai peran yang besar dalam melaksanakan dan mengembangkan pendidikan untuk menjembatani kebutuhan ruhaniyah bagi masyarakat.

VISI, MISI DAN TUJUAN

1.       VISI
Imtaq, Istiqomah, Aktif dan Harmonis.”
2.       MISI
a.       Membetuk insan muslim yang berilmu, beramal dan berakhlaqul karimah.
b.       Menumbuhkan semangat belajar pada santri serta mendorong untuk mengkaji berbagai disiplin ilmu.
c.       Melaksanakan pendidikan yang berorientasi sebagaia bekal kehidupan dunia dan akhirat.
3.       TUJUAN
a.       Mengembangkan iklim belajar yang kondusif, berakar pada Alquran, Hadits, Ijma’, dan Qiyas.
b.       Mencetak tamatan yang berilmu dan beramal nyata.
c.       Mewujudkan pelayanan dalam upaya memaksimalkan pemberdayaan sumber daya manusia.

B.     KEDUDUKAN, TUGAS POKOK, DAN FUNGSI

-          MADIN Shirothul Fuqoha’ II adalah lembaga pendidikan non formal keagamaan yang diselenggarakan PPS Shirothul Fuqoha’ II yang dipimpin oleh kepala madrasah yang berada di bawah dan bertanggung jawab lansung kepada pengasuh pondok pesantren.
-          Tugas pokok MADIN Shirothul Fuqoha’ II adalah menyelenggarakan proses pendidikan agama islam dalam sejumlah disiplin ilmu keagamaan.
-          Fungsi MADIN Shirothul Fuqoha’ II adalah :
a.       Melaksanakan dan mengembangkan proses pembelajaran agama islam
b.       Melaksanakan pembinaan pengurus, kepala MADIN, ustadz / ustadzah dan santri, dan
c.       Melaksanakan kegiatan administrasi


C.     STRATEGI PENGEMBANGAN

1.       Jenis Pendidikan
Madrasah Diniyah Shirothul Fuqoha’ II menyelenggarakan pendidikan untuk tingkat Ula ( setingkat SD/MI ) sedangkan untuk tingkat Wustho ( setingkat SMP/MTs ) dan tingkat Ula ( setingkat SMA/MA ) masih dalam rencana.
2.       Tahun Pelajaran
Tahun pelajaran menggunakan kalender Hijriyah yang dimulai dari bulan Dzulqo’dah dan berakhir pada bulan Sya’ban. Pada prinsipnya dibagi dalam dua semester, semester awal berlangsung pada bulan dzulqo’dah, dzulhijjah, muharrom, shofar dan rabi’ul awal. Sedangkan semester kedua pada bulan rabi’ul akhir, jumadil awal, jumadil akhir, rojab dan sya’ban.
3.       Sistem dan Metode
Sistem dan Metode dilaksanakan dengan sistem kelas. penyelenggaraan pendidikan dilakasanakan melalui membaca, menulis, sima’, muhafadhoh / hafalan dan lain-lain. Bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar adalah bahasa jawa, bahasa Indonesia, bahasa Arab, dan bahasa Asing jika diperlukan.
4.       Kurikulum
Kurikulum Madrasah Diniyah Shirothul Fuqoha’ II terdiri atas :
a.       Al-Quran               g. Fiqih dan praktek ibadah                              
b.       Hadits                    h. Tarikh
c.       Nahwu                  i. Bahasa Arab
d.       Shorof                   j. Pego
e.       Tauhid                   k. Tahajji
f.         Akhlaq                  l. Doa-doa
5.       Penerimaan Santri Baru
Penerimaan santri baru secara umum dilaksanakan pada awal tahun pelajaran yaitu pada bulan Dzulqo’dah. Namun dapat pula dilaksanakan pada bulan – bulan yang lain, santri yang masuk harus melalui ujian penerimaan santri baru untuk menetukan kelas yang akan diikuti.
6.       Ujian
Dalam satu tahun pelajaran ujian dilaksanakan dua kali yaitu ujian semester I dan ujian semester II, selain itu juga ada ujiam akhir untuk menentukan kelulusan santri.
7.       Wisuda
Acara wisuda dilaksanakan pada saat Haflah Akhirussanah dan Imtihan PPS Shirothul Fuqoha’ II sekitar bulan sya’ban.

D.     PENDAFTARAN SANTRI BARU

1.       Syarat – Syarat
a.       Mengisi formulir pendaftaran.
b.       Menyatakan kesanggupan menjadi dan mematuhi tata tertib yang telah ditetapkan MADIN.
c.       Menyerahkan pas photo 3x4 sebanyak 3 lembar dengan ketentuan berkopyah ( bagi putra ) dan berjilbab ( bagi putri).
2.       Waktu dan Tempat
Pendaftaran akan dilayani setiap hari kecuali hari jum’at jam 2 siang s/d 5 sore.
Tempat : Kantor MADIN telp. ( 0341 ) 4444110
Contact Person :
            Ust. Arifin                     : 085755756666
            Ust. Imam Rofiq           : 085855959596

F.   PROGRAM EKSTRA KURIKULER

Untuk menunjang kegiatan belajar mengajar ( KBM ) dan mengembangkan bakat dan kreativitas santri maka diselenggarakan beberapa kegiatan ekstra kurikuler antara lain :
1    Diba’
2.   Terbang Al – Banjari

G. PENUTUP

Demikinlah sekelumit gambaran Madrasah Diniyah Shirothul Fuqoha’ II, semoga dari waktu kewaktu terus berkembang sejalan dengan tuntutan masyarakat akan kebutuhan ruhaniyah sebagai bekal didunia dan akhirat. Amin ya Robbal Alamin.





Suatu hari masuklah Rasulullah SAW menemui anandanya Fathimah az-zahra rha. Didapatinya anandanya sedang menggiling syair (sejenis padi-padian) dengan menggunakan sebuah penggilingan tangan dari batu sambil menangis. Rasulullah SAW bertanya pada anandanya, "apa yang menyebabkan engkau menangis wahai Fathimah?, semoga Allah SWT tidak menyebabkan matamu menangis". Fathimah rha. berkata, "ayahanda, penggilingan dan urusan-urusan rumahtanggalah yang menyebabkan ananda menangis". Lalu duduklah Rasulullah SAW di sisi anandanya. Fathimah rha. melanjutkan perkataannya, "ayahanda sudikah kiranya ayahanda meminta 'aliy (suaminya) mencarikan ananda seorang jariah untuk menolong ananda menggiling gandum dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah".

Mendengar perkataan anandanya ini maka bangunlah Rasulullah SAW mendekati penggilingan itu. Beliau mengambil syair dengan tangannya yang diberkati lagi mulia dan diletakkannya di dalam penggilingan tangan itu seraya diucapkannya "Bismillaahirrahmaanirrahiim". Penggilingan tersebut berputar dengan sendirinya dengan izin Allah SWT. Rasulullah SAW meletakkan syair ke dalam penggilingan tangan itu untuk anandanya dengan tangannya sedangkan penggilingan itu berputar dengan sendirinya seraya bertasbih kepada Allah SWT dalam berbagai bahasa sehingga habislah butir-butir syair itu digilingnya.
Rasulullah SAW berkata kepada gilingan tersebut, "berhentilah berputar dengan izin Allah SWT", maka penggilingan itu berhenti berputar lalu penggilingan itu berkata-kata dengan izin Allah SWT yang berkuasa menjadikan segala sesuatu dapat bertutur kata. Maka katanya dalam bahasa Arab yang fasih, "ya Rasulullah SAW, demi Allah Tuhan yang telah menjadikan baginda dengan kebenaran sebagai Nabi dan Rasul-Nya, kalaulah baginda menyuruh hamba menggiling syair dari Masyriq dan Maghrib pun niscaya hamba gilingkan semuanya. Sesungguhnya hamba telah mendengar dalam kitab Allah SWT suatu ayat yang berbunyi : (artinya)
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang dititahkan-Nya kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang dititahkan".
Maka hamba takut, ya Rasulullah kelak hamba menjadi batu yang masuk ke dalam neraka. Rasulullah SAW kemudian bersabda kepada batu penggilingan itu, "bergembiralah karena engkau adalah salah satu dari batu mahligai Fathimah az-zahra di dalam sorga". Maka bergembiralah penggilingan batu itu mendengar berita itu kemudian diamlah ia.
Rasulullah SAW bersabda kepada anandanya, "jika Allah SWT menghendaki wahai Fathimah, niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah SWT menghendaki dituliskan-Nya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat. Ya Fathimah, perempuan mana yang menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah SWT menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya suatu kebaikan dan mengangkatnya satu derajat.
Ya Fathimah perempuan mana yang berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya maka Allah SWT menjadikan antara dirinya dan neraka tujuh buah parit. Ya Fathimah, perempuan mana yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci pakaian mereka maka Allah SWT akan mencatatkan baginya ganjaran pahala orang yang memberi makan kepada seribu orang yang lapar dan memberi pakaian kepada seribu orang yang bertelanjang. Ya Fathimah, perempuan mana yang menghalangi hajat tetangga-tetangganya maka Allah SWT akan menghalanginya dari meminum air telaga Kautshar pada hari kiamat.
Ya Fathimah, yang lebih utama dari itu semua adalah keridhaan suami terhadap istrinya. Jikalau suamimu tidak ridha denganmu tidaklah akan aku do'akan kamu. Tidaklah engkau ketahui wahai Fathimah bahwa ridha suami itu daripada Allah SWT dan kemarahannya itu dari kemarahan Allah SWT?. Ya Fathimah, apabil seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya maka beristighfarlah para malaikat untuknya dan Allah SWT akan mencatatkan baginya tiap-tiap hari seribu kebaikan dan menghapuskan darinya seribu kejahatan. Apabila ia mulai sakit hendak melahirkan maka Allah SWT mencatatkan untuknya pahala orang-orang yang berjihad pada jalan Allah yakni berperang sabil. Apabila ia melahirkan anak maka keluarlah ia dari dosa-dosanya seperti keadaannya pada hari ibunya melahirkannya dan apabila ia meninggal tiadalah ia meninggalkan dunia ini dalam keadaan berdosa sedikitpun, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman sorga, dan Allah SWT akan mengkaruniakannya pahala seribu haji dan seribu umrah serta beristighfarlah untuknya seribu malaikat hingga hari kiamat.
Perempuan mana yang melayani suaminya dalam sehari semalam dengan baik hati dan ikhlas serta niat yang benar maka Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya semua dan Allah SWT akan memakaikannya sepersalinan pakaian yang hijau dan dicatatkan untuknya dari setiap helai bulu dan rambut yang ada pada tubuhnya seribu kebaikan dan dikaruniakan Allah untuknya seribu pahala haji dan umrah. Ya Fathimah, perempuan mana yang tersenyum dihadapan suaminya maka Allah SWT akan memandangnya dengan pandangan rahmat. Ya Fathimah perempuan mana yang menghamparkan hamparan atau tempat untuk berbaring atau menata rumah untuk suaminya dengan baik hati maka berserulah untuknya penyeru dari langit (malaikat), "teruskanlah 'amalmu maka Allah SWT telah mengampunimu akan sesuatu yang telah lalu dari dosamu dan sesuatu yang akan datang". Ya Fathimah, perempuan mana yang meminyak-kan rambut suaminya dan janggutnya dan memotongkan kumisnya serta menggunting kukunya maka Allah SWT akan memberinya minuman dari sungai-sungai sorga dan Allah SWT akan meringankan sakarotulmaut-nya, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman sorga seta Allah SWT akan menyelamatkannya dari api neraka dan selamatlah ia melintas di atas titian Shirat".


http://nusidoarjo.com/index.php/serba-serbi/549-fathimah-az-zahra-ra-dan-gilingan-gandum


Tidak mudah mendefinisikan agama, apalagi di  dunia  ini  kita
menemukan   kenyataan  bahwa  agama  amat  beragam.  Pandangan
seseorang  terhadap  agama,   ditentukan   oleh   pemahamannya
terhadap  ajaran  agama itu sendiri. Ketika pengaruh gereja di
Eropa  menindas  para  ilmuwan  akibat  penemuan  mereka  yang
dianggap  bertentangan  dengan  kitab  suci, para ilmuwan pada
akhirnya menjauh dari agama bahkan meninggalkannya.
 
Persoalan yang menjadi topik  pembicaraan  kita  mau  tak  mau
harus  muncul,  "Apakah  agama  masih relevan dengan kehidupan
masa kini  yang  cerminannya  seperti  digambarkan  di  atas?"
Sebelum   menjawab,  perlu  terlebih  dahulu  dijawab:  Apakah
manusia dapat  melepaskan  diri  dari  agama?"  Atau,  "Adakah
alternatif lain yang dapat menggantikannya?"
 
Dalam  pandangan  Islam,  keberagamaan adalah fithrah (sesuatu
yang   melekat   pada   diri   manusia   dan   terbawa   sejak
kelahirannya):
 
     Fitrah Allah yang menciptakan manusia atas fitrah itu
     (QS Ad-Rum [30]: 30)
 
Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan  diri  dari  agama.
Tuhan  menciptakan  demikian, karena agama merupakan kebutuhan
hidupnya. Memang manusia  dapat  menangguhkannya  sekian  lama
--boleh  jadi sampai dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada
akhirnya, sebelum ruh rmeninggalkan jasad, ia  akan  merasakan
kebutuhan    itu.    Memang,   desakan   pemenuhan   kebutuhan
bertingkat-tingkat.  Kebutuhan  manusia  terhadap  air   dapat
ditangguhkan  lebih  lama dibandingkan kebutuhan udara. Begitu
juga   kebutuhan   manusia   makanan,   jauh   lebih   singkat
dibandingkan dengan kebutuhan manusia untuk menyalurkan naluri
seksual. Demikian juga kebutuhan manusia terhadap agama  dapat
ditangguhkan, tetapi tidak untuk selamanya.
 
Ketika  terjadi  konfrontasi  antara  ilmuwan  di Eropa dengan
Gereja, ilmuwan meninggalkan agama, tetapi tidak lama kemudian
mereka  sadar  akan  kebutuhan kepada pegangan yang pasti, dan
ketika itu, mereka menjadikan "hati nurani" sebagai alternatif
pengganti  agama.  Namun  tidak lama kemudian mereka menyadari
bahwa  alternatif  ini,  sangat  labil,  karena  yang  dinamai
"nurani"   terbentuk   oleh   lingkungan  dan  latar  belakang
pendidikan, sehingga nurani Si A dapat berbeda  dengan  Si  B,
dan  dengan  demikian  tolok  ukur  yang  pasti menjadi sangat
rancu.
 
Setelah   itu   lahir    filsafat    eksistensialisme,    yang
mempersilakan  manusia  melakukan  apa  saja  yang dianggapnya
baik, atau menyenangkan tanpa mempedulikan nilai-nilai.
 
Namun, itu semua tidak dapat menjadikan agama tergusur, karena
seperti  dikemukakan  di atas ia tetap ada dalam diri manusia,
walaupun keberadaannya kemudian tidak diakui  oleh  kebanyakan
manusia itu sendiri.
 
William James menegaskan bahwa, "Selama manusia masih memiliki
naluri cemas  dan  mengharap,  selama  itu  pula  ia  beragama
(berhubungan  dengan Tuhan)." Itulah sebabnya mengapa perasaan
takut  merupakan  salah  satu  dorongan  yang  terbesar  untuk
beragama.
 
     I1mu mempercepat Anda sampai ke tujuan, agama
     menentukan arah yang dituju.
     
     I1mu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan
     agama menyesuaikan dengan jati dirinya.
     
     I1mu hiasan 1ahir, dan agama hiasan batin.
     
     I1mu memberikan kekuatan dan menerangi jalan, dan agama
     memberi harapan dan dorongan bagi jiwa.
     
     I1mu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan
     "bagaimana", dan agama menjawab yang dimulai dengan
     "mengapa."
     
     Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya,
     sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang
     tulus.
 
Demikian Murtadha Muthahhari menjelaskan sebagian  fungsi  dan
peranan agama dalam kehidupan ini, yang tidak mampu diperankan
oleh ilmu dan teknologi. Bukankah kenyataan  hidup  masyarakat
Barat membuktikan hal tersebut?
 
Manusia  terdiri dari akal, jiwa, dan jasmani. Akal atau rasio
ada wilayahnya. Tidak semua persoalan bisa  diselesaikan  atau
bahkan  dihadapi  oleh  akal.  Karya  seni tidak dapat dinilai
semata-mata oleh akal, karena  yang  lebih  berperan  di  sini
adalah  kalbu.  Kalau demikian, keliru apabila seseorang hanya
mengandalkan akal semata-mata.
 
Akal bagaikan kemampuan berenang. Akal berguna  saat  berenang
di  sungai  atau  di  laut  yang tenang, tetapi bila ombak dan
gelombang telah membahana, maka yang pandai berenang dan  yang
tidak bisa berenang sama-sama membutuhkan pelampung.
 
Dalam  hubungannya  dengan  pengembangan  ilmu pengetahuan dan
teknologi, agama sesungguhnya sangat berperan,  terutama  jika
manusia  tetap  ingin  jadi  manusia.  Ambillah sebagai contoh
bidang bio-teknologi. Ilmu manusia sudah sampai  kepada  batas
yang menjadikannya dapat berhasil melakukan rekayasa genetika.
Apakah keberhasilan ini akan dilanjutkan sehingga menghasilkan
makhluk-makhluk hidup yang dapat menjadi tuan bagi penciptanya
sendiri? Apakah ini baik atau buruk?  Yang  dapat  menjawabnya
adalah nilai-nilai agama, dan bukan seni, bukan pula filsafat.
 
Jika  demikian,  maka  tidak  ada  alternatif  lain yang dapat
menggantikan  agama.  Mereka  yang  mengabaikannya,   terpaksa
menciptakan "agama baru" demi memuaskan jiwanya.
 
Dalam  pandangan  sementara pakar Islam, agama yang diwahyukan
Tuhan, benihnya muncul dari pengenalan dan pengalaman  manusia
pertama  di pentas bumi. Di sini ia memerlukan tiga hal, yaitu
keindahan, kebenaran, dan kebaikan. Gabungan ketiganya dinamai
suci.  Manusia  ingin mengetahui siapa atau apa Yang Mahasuci,
dan ketika itulah dia menemukan Tuhan, dan sejak itu  pula  ia
berusaha   berhubungan   dengan-Nya   bahkan   berusaha  untuk
meneladani  sifat-sifat-Nya.   Usaha   itulah   yang   dinamai
beragama,   atau   dengan   kata   lain,  keberagamaan  adalah
terpatrinya rasa kesucian dalam  jiwa  beseorang.  Karena  itu
seorang  yang  beragama akan selalu berusaha untuk mencari dan
mendapatkan yang benar, yang baik, lagi yang indah.
 
Mencari  yang  benar  menghasilkan  ilmu,  mencari  yang  baik
menghasi1kan akhlak, dan mencari yang indah menghasilkan seni.
 
Jika  demikian,  agama bukan saja merupakan kebutuhan manusia,
tetapi juga selalu relevan dengan kehidupannya. Adakah manusia
yang tidak mendambakan kebenaran, keindahan dan kebaikan?
 
IDE DASAR PERDAMAIAN
 
Agaknya,  cukup  dengan  memahami  makna  nama agama ini yakni
Islam, seseorang telah dapat mengetahui bahwa ia adalah  agama
yang  mendambakan  perdamaian.  Cukup juga dengan mendengarkan
ucapan  yang  dianjurkan   untuk   disampaikan   pada   setiap
pertemuan.  "Assalamu  'Alaikum" (Damai untuk Anda), seseorang
dapat menghayati bahwa kedamaian yang didambakan  bukan  hanya
untuk  diri  sendiri,  tetapi  juga  untuk  pihak  lain. Kalau
demikian, tidak heran jika salah  satu  ciri  seorang  Muslim,
adalah seperti sabda Nabi Muhammad Saw.
 
     Siapa yang menyelamatkan orang lain (yang mendambakan
     kedamaian) dari gangguan lidahnya dan tangannya.
 
Perdamaian merupakan salah satu ciri  utama  agama  Islam.  Ia
lahir  dari  pandangan  ajarannya  tentang  Allah,  Tuhan Yang
Mahakuasa, alam, dan manusia.
 
Allah,  Tuhan  Yang  Maha  Esa,  adalah  Maha  Esa,  Dia  yang
menciptakan  segala  sesuatu  berdasarkan kehendak-Nya semata.
Semua ciptaan-Nya  adalah  baik  dan  serasi,  sehingga  tidak
mungkin kebaikan dan keserasian itu mengantar kepada kekacauan
dan pertentangan. Dari sini bermula kedamaian  antara  seluruh
ciptaan-Nya.
 
Makhluk  hidup  diciptakan dari satu sumber: "Kami menciptakan
semua yang hidup dan air" (QS Al-Anbiya' [21]:  22).  Manusia,
yang  merupakan  salah  satu  unsur  yang  hidup  itu, juga di
ciptakan dari satu sumber yakni  thin  (tanah  yang  bercampur
air)  melalui  seorang ayah dan seorang ibu, sehingga manusia,
bukan saja  harus  hidup  berdampingan  dan  harmonis  bersama
manusia  lain,  tetapi  juga dengan makhluk hidup lain, bahkan
dengan alam raya, apalagi yang berada di  bumi  ini.  Bukankah
eksistensinya  lahir dari tanah, bumi tempat dia berpijak, dan
kelak ia akan kembali ke sana?
 
Demikian ide dasar ajaran  Islam,  yang  melahirkan  keharusan
adanya kedamaian bagi seluruh makhluk.
 
Benar   bahwa  agama  ini  memerintahkan  untuk  mempersiapkan
kekuatan guna menghadapi musuh. Namun persiapan itu tidak lain
kecuali    --menurut    istilah    Al-Quran--   adalah   untuk
menakut-nakuti mereka (yang bermaksud melahirkan kekacauan dan
disintegrasi)   (QS  Al-Anfal  [8]:  60).  Peperangan  --kalau
terjadi--  tidak  dibenarkan   kecuali   untuk   menyingkirkan
penganiayaan,  itu  pun dalam batas-batas tertentu. Anak-anak,
orang tua, kaum lemah, bahkan pepohonan harus dilindungi,  dan
atas dasar ini, datang petunjuk Tuhan yang menyatakan:
 
     Kalau mereka cenderung kepada perdamaian, maka
     sambutlah kecenderungan itu, dan berserah dirilah
     kepada Allah (QS Al-Anfal [8]: 61).
 
KERUKUNAN DAN DEMOKRASI
 
Biasanya yang paling  berharga  bagi  sesuatu  adalah  dirinya
sendiri.  Ini  berarti  yang paling berharga buat agama adalah
agama itu sendiri. Karenanya setiap agama menuntut pengorbanan
apa  pun  dari  pemeluknya demi mempertahankan kelestariannya.
Namun   demikian,   Islam   datang   tidak   hanya   bertujuan
mempertahankan   eksistensinya   sebagai  agama,  tetapi  juga
mengakui eksistensi agama-agama lain, dan memberinya hak untuk
hidup  berdampingan  sambil  menghormati pemeluk-pemeluk agama
lain.
 
     Jangan mencerca yang tidak menyembah Allah (penganut
     agama lain) ... (QS Al-An'am [6): 108).
     
     Tiada paksaan untuk menganut agama (Islam) (QS
     Al-Baqarah [2]: 256).
     
     Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-Kafirun [109]:
     6)
 
Surat Al-Hajj (22): 40 menyatakan:
 
     "Seandainya Allah tidak meno1ak keganasan sebagian
     orang atas sebagian yang lain (tidak mendorong kerja
     sama antara manusia), niscaya rubuhlah biara-biara,
     gereja~gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan
     masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama
     Allah."
 
Ayat ini dijadikan oleh sebagian  ulama,  seperti  Al-Qurthubi
(w.   671   H),   sebagai  argumentasi  keharusan  umat  Islam
memelihara  tempat-tempat  ibadah  umat  non-Muslim.   Memang,
A1-Quran sendiri amat tegas menyatakan bahwa,
 
     Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan
     seluruh manusia menjadi satu umat saja (QS Al-Nahl
     [16]: 93).
 
Tetapi  Allah  tidak menghendaki yang demikian, karena itu Dia
memberikan kebebasan  kepada  manusia  untuk  memilih  sendiri
jalan  yang  dianggapnya baik, mengemukakan pendapatnya secara
jelas dan bertanggung jawab. Di sini dapat ditarik  kesimpulan
bahwa kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan memilih agama,
adalah hak yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap insan.
 
Yang dikemukakan ayat Al-Quran tersebut merupakan  salah  satu
benih  dari  ajaran  demokrasi,  hal mana kemudian akan nampak
dengan jelas dalam petunjuk-petunjuk Kitab  Suci.  Salah  satu
yang  dapat  dikemukakan  di  sini adalah pengalaman Nabi Saw.
dalam  peperangan  Uhud  serta  kaitannya  dengan  ayat   yang
memerintahkan   musyawarah.   Sejarah  menginformasikan  bahwa
ketika terdengar berita rencana serangan musuh-musuh Nabi Saw.
dari Makkah ke Madinah, Nabi Saw. berpendapat bahwa lebih baik
menunggu mereka hingga sampai ke kota Madinah. Namun mayoritas
sahabat-sahabatnya  dengan penuh semangat mendesak beliau agar
menghadapi mereka di luar kota, yakni di Uhud. Karena  desakan
itu,  akhirnya  Nabi  menyetujui.  Tetapi,  ternyata,  puluhan
sahabat  Nab~  gugur  dalam   peperangan   tersebut   sehingga
menimbulkan  penyesalan.  Setelah  pengalaman  pahit mengikuti
pendapat mayoritas ini, justu Al-Quran turun memberi  petunjuk
kepada Nabi Muhammad Saw., agar tetap melakukan musyawarah dan
selalu bertukar pikiran dengan sahabat-sahabatnya (baca QS Ali
'Imran [3]: 159).
 
Demikian  terlihat  kebebasan beragama, mengemukakan pendapat,
dan demokrasi, merupakan prinsip-prinsip ajaran Islam.
 
Atas dasar itu pula, kitab suci umat Islam mengakui  kenyataan
tentang  banyaknya  jalan  yang  dapat  ditempuh umat manusia.
Mereka diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam  kebaikan  (QS
Al-Baqarah [2]: 148), kesemuanya demi kedamaian dan kerukunan:
 
     Allah memberi petunjuk melalui wahyu-Nya siapa yang
     mengikuti keridhaan-Nya dengan menelusuri jalan-jalan
     kedamaian (QS Al-Maidah [5]: 16).
 
Sekali lagi ditemukan bahwa kebhinekaan diakui atau  ditampung
selama  bercirikan  kedamaian.  Bahkan dalam rangka mewujudkan
kedamaian dengan pihak lain, Islam  menganjurkan  dialog  yang
baik  (QS  Al-Nahl  [16]:  125). Dan dalam dialog itu, seorang
Muslim tidak dianjurkan untuk mengklaim kepada mitra dialognya
bahwa kebenaran hanya menjadi miliknya.
 
     Katakanlah, Kami atau Anda yang berada dalam kebenaran
     atau kesesatan yang nyata (QS Saba' [34]: 24).
 
Bahkan lebih jauh dari itu Kitab Suci umat  Islam  mengajarkan
kata  atau  kalimat-kalimat  dialog  yang  pada lahirnya dapat
dinilai "merugikan". Perhatikan terjemahan ayat berikut:
 
     Kamu sekalian tidak akan diminta untuk
     mempertanggungjawabkan dosa-dosa kami. Kami pun tidak
     akan mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kalian.
     (QS Saba' [34]: 25) .
 
Kita  menamai  perbuatan  kita  dosa,  dan   tidak   menamakan
perbuatan   mitra   dialog  non-Muslim  sebagai  dosa,  tetapi
menyebutnya sebagai "perbuatan".
 
Perdamaian dan kerukunan yang didambakan Islam, bukankah  yang
bersifat  semu, tetapi yang memberi rasa aman pada jiwa setiap
insan. Karena itu, langkah pertama  yang  dilakukannya  adalah
mewujudkannya  dalam  jiwa  setiap  pribadi.  Setelah  itu  ia
melangkah  kepada  unit  terkecil   dalam   masyarakat   yakni
keluarga.  Dari sini ia beralih ke masyarakat luas, seterusnya
kepada seluruh  bangsa  di  permukaan  bumi  ini,  dan  dengan
demikian  dapat  tercipta perdamaian dunia, dan dapat terwujud
hubungan harmonis serta toleransi dengan semua pihak.
 
Demikian, sekelumit ajaran Islam.  Kalau  kenyataan  di  dunia
Islam  berbeda  dengan  apa yang tersurat dalam petunjuk agama
ini, maka yang keliru adalah pelaku ajaran dan bukan ajarannya
itu  sendiri.  Sungguh tepat pernyataan Syaikh Muhammad Abduh,
"Al-Islam  mahjub  bil  muslimin"  (Keindahan   ajaran   Islam
ditutupi oleh kelakuan sementara umat Islam).
 
AGAMA ISLAM DALAM KEHIDUPAN MODERN
 
Berbicara tentang agama Islam dalam kehidupan modern, terlebih
dahulu  perlu  digarisbawahi  keharusan pemisahan antara agama
dan pemeluk agama seperti  ucapan  Syaikh  Muhammad  Abduh  di
atas.
 
     Ajaran Islam tertutup oleh perilaku kaum Muslim.
 
Islam memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus mewarnai sikap
dan  aktivitas  pemeluknya.  Puncak  dari  prinsip  itu adalah
tauhid.   Di   sekelilingnya   beredar   unit-unit    bagaikan
planet-planet  tata surya yang beredar di sekeliling matahari,
yang tidak dapat  melepaskan  diri  dari  orbitnya.  Unit-unit
tersebut antara lain:
 
  a. Kesatuan alam semesta. Dalam arti, Allah
     menciptakannya dalam keadaan amat serasi, seimbang, dan
     berada di bawah pengaturan dan pengendalian Allah Swt.
     melalui hukum-hukum yang ditetapkan-Nya.
     
  b. Kesatuan kehidupan. Bagi manusia ini berarti bahwa
     kehidupan duniawinya menyatu dengan kehidupan akhirnya.
     Sukses atau kegagalan ukhrawi, ditentukan oleh amal
     duniawinya.
     
  c. Kesatuan ilmu. Tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu
     agama dan ilmu umum, karena semuanya bersumber dari
     satu sumber yaitu Allah Swt.
     
  d. Kesatuan iman dan rasio. Karena masing-masing
     dibutuhkan dan masing-masing mempunyai wilayahnya
     sehingga harus saling melengkapi.
     
  e. Kesatuan agama. Agama yang dibawa oleh para Nabi
     kesemuanya bersumber dari Allah Swt., prinsip-prinsip
     pokoknya menyangkut akidah, syariah, dan akhlak tetap
     sama dari zaman dahulu sampai sekarang.
     
  f. Kesatuan kepribadian manusia. Mereka semua
     diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi.
     
  g. Kesatuan individu dan masyarakat. Masing-masing
     harus saling menunjang.
 
Islam --dalam hal urusan hidup duniawi-- tidak memberi rincian
petunjuk, karena
 
     Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu (ketimbang
     aku).
 
Demikian sabda Nabi  Muhammad  Saw.  sebagaimana  diriwayatkan
oleh Imam Muslim.
 
Dari  prinsip-prinsip  semacam  di  atas, seorang Muslim dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan  positif  masyarakatnya,
dan  karena  itu  pula  Islam  memperkenalkan  dirinya sebagai
"Agama yang selalu sesuai dengan setiap waktu dan tempat."
 
Kitab   suci   Al-Quran   mempersilakan   umat   Islam   untuk
mengembangkan  ilmu,  menggunakan  akalnya  menyangkut  segala
sesuatu yang berada dalam wilayah  nalar,  yaitu  alam  fisika
ini.  Namun  harus disadari oleh manusia, bahwa jangankan alam
raya yang sedemikian luas,  dirinya  sendiri  sebagai  manusia
belum sepenuhnya ia kenal.
 
Islam  tidak  menghalangi  umatnya  untuk  memperoleh kekayaan
sebanyak mungkin. Bahkan harta yang  banyak  dinamainya  khair
(baik)  dalam  arti  perolehan  dan penggunaannya harus dengan
baik. Islam juga tidak melarang  umatnya  bersenang-senang  di
dunia,   hanya   digarisbawahinya   bahwa  kesenangan  duniawi
bersifat  sementara,  dan  karena   itu   jangan   sampai   ia
melengahkan   dari  kesenangan  abadi,  atau  melengahan  dari
kewajiban kepada Allah dan masyarakat.
 
Umat  Islam  diperkenalkan  oleh  Al-Quran  sebagai   ummattan
wasathan   (umat   pertengahan)   yang   tidak   larut   dalam
spiritualme, tetapi tidak juga hanyut dalam alam materialisme.
 
Seorang Muslim,  adalah  memenuhi  kebutuhannya  dan  mewarnai
kehidupannya   bukan  ala  malaikat,  tetapi  tidak  juga  ala
binatang.
 
Hubungan seks  dibenarkannya,  tetapi  karena  manusia  adalah
makhluk  terhormat,  yang terdiri dari ruhani dan jasmani maka
hubungan tersebut harus terjadi hubungan lahir dan batin,  dan
karena  itu  ia  harus  dikukuhkan  atas  nama  Tuhan, melalui
perkawinan  yang  sah  menurut  agama.  Nabi   Muhammad   saw.
bersabda:
 
     Kamu mengawini mereka (istri-istrimu) berdasarkan
     amanat Allah dan berhak menggaulinya karena kalimat
     (izin) Allah.
 
Manusia diakui sebagai makhluk yang amat mulia, dan jagat raya
ditundukkan  Tuhan  kepadanya. Ia diberi kelebihan atas banyak
makhluk-makhluk  yang  lain,  tetapi  sebagian  kelebihan  dan
keistimewaannya  --material  dan  material-- diperoleh melalui
bantuan masyarakat.
 
Bahasa dan istiadat adalah  produk  masyarakatnya.  Keuntungan
material,  tidak  dapat diraihnya tanpa partisipasi masyarakat
dalam  membeli  bagi  pedagang,  dan  adanya   irigasi   walau
sederhana  bagi  petani,  serta stabilitas keamanan bagi semua
pihak, yang tidak diwujudkan oleh seorang saja.
 
Kalau demikian, wajar jika hak asasinya harus dikaitkan dengan
kepentingan   masyarakatnya  serta  ketenangan  orang  banvak.
Pandangan Barat yang menyatakan:  "Anda  boleh  melakukan  apa
saja  selama  tidak  melanggar  hak orang lain", tidak sejalan
dengan tuntutan moral  Al-Quran  yang  menyatakan:  "Hendaklah
Anda  mengorbankan sebagian kepentingan Anda guna kepentingcan
orang lain."
 
     Mereka (kelompok Anshar) mengutamakan (orang-orang
     Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka
     dalam kesusahan. Siapa yang dipelihara dari kekikiran
     dirinya, mereka dalam kekikiran dunianya, mereka itulah
     orang-orang beruntung (QS Al-Hasyr [59]: 9).
 
Demikian sekelumit pembahasan tentang agama.
 
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net








Disadari atau tidak, wujud Tuhan pasti dirasakan oleh jiwa manusia baik redup atau benderang. Manusia menyadari bahwa suatu ketika dirinya akan mati. Kesadaran ini mengantarkannya kepada pertanyaan tentang apa yang akan terjadi sesudah kematian, bahkan menyebabkan manusia berusaha memperoleh kedamaian dan keselamatan di negeri yang tak dikenal itu.   Wujud Tuhan yang dirasakan, serta hal-ihwal kematian, merupakan dua dari sekian banyak faktor pendorong manusia untuk berhubungan dengan Tuhan dan memperoleh informasi yang pasti. Sayangnya tidak semua manusia mampu melakukan hal itu. Namun, kemurahan Allah menyebabkan-Nya memilih manusia tertentu untuk menyampaikan pesan-pesan Allah, baik untuk periode dan masyarakat tertentu maupun untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat. Mereka yang mendapat tugas itulah yang dinamai Nabi (penyampai berita) dan Rasul (Utusan Tuhan).   Jumlah mereka secara pasti tidak diketahui. Al-Quran hanya menginforrnasikan bahwa,   "Tidak satu umat (kelompok masyarakat) pun kecuali telah pernah diutus kepadanya seorang pembawa peringatan" (QS Fathir [35]: 24).   Al-Quran juga menyatakan kepada Nabinya bahwa,   "Kami telah mengutus nabi-nabi sebelum kamu, di antara mereka ada yang telah kami sampaikan kisahnya, dan ada pula yang tidak Kami sampaikan kepadamu" (QS Al-Mu'min [40]: 78)   Al-Quran menyebutkan secara tegas nama dua puluh lima Nabi/Rasul; delapan belas di antaranya disebutkan dalam Al-Quran surat Al-An'am (6): 83-86, sisanya didapatkan dari berbagai ayat.   Nabi Muhammad Saw. seperti dinyatakan Al-Quran surat Al-A'raf (7): 158 -diutus kepada seluruh manusia, dan beliau merupakan khataman nabiyyin (penutup para nabi) (QS Al-Ahzab [33]: 40).   Masa Prakelahiran   Al-Quran menegaskan bahwa para nabi telah pernah diangkat janjinya untuk percaya dan membela Nabi Muhammad Saw.   "Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dan para Nabi, 'Sungguh apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul (Muhammad) yang membenarkan kamu, niscaya kamu sungguh-sungguh akan beriman kepadanya dan menolongnya.' Allah berfirman, 'Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku yang demikian itu?' Mereka menjawab, 'Kami mengakui.'" (QS Ali'Imran [3]: 81)   Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad Saw. bersabda,   "Demi (Allah) yang jiwaku berada pada genggaman-Nya, seandainya Musa a.s. hidup, dia tidak dapat mengelak dan mengikutiku" (HR Imam Ahmad)   Tidak jelas kapan dan bagaimana perjanjian yang disinggung ayat tersebut. Setidaknya, ia mengisyaratkan bahwa Allah Swt. telah merencanakan sesuatu untuk Nabi Muhammad Saw., jauh sebelum kelahiran beliau. Karena itu pula sementara pakar menyatakan bahwa kematian ayah beliau sebelum kelahiran, kepergiannya ke pedesaan menjauhi ibunya, serta ketidakmampuannya membaca dan menulis merupakan strategi yang dipersiapkan Tuhan kepada beliau untuk dijadikan utusan-Nya kepada seluruh umat manusia kelak.   Bahkan ulama lain meyakini bahwa pemilihan hal-hal tertentu berkaitan dengan beliau bukanlah kebetulan. Misalnya bulan lahir, hijrah, dan wafatnya pada bulan Rabi'ul Awal (musim bunga). Nama beliau Muhammad (yang terpuji), ayahnya Abdullah (hamba Allah) , ibunya Aminah (yang memberi rasa aman), kakeknya yang bergelar Abdul Muththalib bernama Syaibah (orang tua yang bijaksana), sedangkan yang membantu ibunya melahirkan bernama Asy-Syifa' (yang sempurna dan sehat), serta yang menyusukannya adalah Halimah As-Sa'diyah (yang lapang dada dan mujur). Semuanya mengisyaratkan keistimewaan berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw. Makna nama-nama tersebut memiliki kaitan yang erat dengan kepribadian Nabi Muhammad Saw.   Al-Quran surat Al-A'raf (7): 157 juga menginformasikan bahwa Nabi Muhammad Saw. pada hakikatnya dikenal oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Hal ini antara lain disebabkan mereka mendapatkan (nama)-nya tertulis di dalam Taurat dan Injil (QS Al-A'raf [7]: 157).   Menurut pakar agama Islam, yang ditegaskan oleh Al-Quran itu, dapat terbaca antara lain dalam Pertanjian Lama, Kitab Ulangan 33 ayat 2:   "... bahwa Tuhan telah datang dari Torsina, dan telah terbit untuk mereka itu dari Seir, kelihatanlah ia dengan gemerlapan cahayanya dari gunung Paran."   Pemahaman mereka berdasarkan analisis berikut: "Gunung Paran" menurut Kitab Pertanjian Lama, Kejadian ayat 21, adalah tempat putra Ibrahim -yakni Nabi Ismail- bersama ibunya Hajar memperoleh air (Zam-Zam). Ini berarti bahwa tempat tersebut adalah Makkah, dan dengan demikian yang tercantum dalam Kitab Ulangan di atas mengisyaratkan tiga tempat terpancarnya cahaya wahyu Ilahi: Thur Sina tempat Nabi Musa a.s., Seir tempat Nabi Isa a.s. , dan Makkah tempat Nabi Muhammad Saw. Sejarah membuktikan bahwa beliau satu-satunya Nabi dari Makkah.   Karena itu pula wajar jika Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 146 menyatakan bahkan mereka itu mengenalnya (Muhammad Saw.), sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka, bahkan salah seorang penganut agama Yahudi yang kemudian masuk Islam, yaitu Abdullah bin Salam pernah berkata, "Kami lebih mengenal dan lebih yakin tentang kenabian Muhammad Saw. daripada pengenalan dan keyakinan kami tentang anak-anak kami. Siapa tahu pasangan kami menyeleweng."   Masa Prakenabian   Ada beberapa ayat Al-Quran yang berbicara tentang Nabi Muhammad Saw. sebelum kenabian beliau. Antara lain,   "Bukankah Dia (Tuhan) mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu, dan Dia mendapatimu bimbang, lalu Dia memberi petunjuk kepadamu, dan Dia mendapatimu dalam keadaan kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan?" (QS Al-Dhuha [93]: 6-8).   Beliau yatim sejak di dalam kandungan, kemudian dipelihara dan dilindungi oleh paman dan kakeknya. Beliau hidup di dalam keresahan dan kebimbangan melihat sikap masyarakatnya, lalu Allah memberinya petunjuk, dan mengangkatnya sebagai Nabi dan Rasul. Beliau hidup miskin karena ayahnya tidak meninggalkan warisan untuknya, kecuali beberapa ekor kambing dan harta lainnya yang tidak berarti. Tetapi Allah memberinya kecukupan, khususnya menjelang dan saat hidup berumah tangga dengan istrinya, Khadijah a.s.   Ayat lain yang oleh ulama dianggap berbicara tentang Nabi Muhammad Saw. pada masa kanak-kanaknya, adalah surat Alam Nasyrah ayat pertama:   "Bukankah Kami (Tuhan) telah melapangkan dada untukmu?"   Sebagian ulama mengartikan kata nasyrah dengan "memotong/membedah." Memang, bila dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat materi, artinya demikian. Apabila dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat nonmateri, kata itu mengandung arti membuka, memberi pemahaman, menganugerahkan ketenangan dan semaknanya.   Yang mengaitkan dengan hal-hal materi berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang "pembedahan" yang pernah dilakukan oleh para malaikat terhadap Nabi Muhammad Saw. kala beliau remaja. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh mufasir An -Naisaburi.   Tetapi sepanjang penelitian penulis kata tersebut dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak 5 kali, dan tidak satu pun yang digunakan dengan arti harfiah, apalagi bermakna pembedahan. Akan lebih jelas lagi jika hal itu disejajarkan dengan ayat yang berbicara tentang doa Nabi Musa a.s. di dalam Al-Quran.   "Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku urusanku dan lepaskanlah kekakuan lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku" (QS Thaha [20]: 25-28)   Selanjutnya Al-Quran menegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak pernah membaca satu kitab atau menulis satu kata sebelum datangnya wahyu Al-Quran.   "Engkau tidak pernah membaca satu kitab pun sebelumnya (Al-Quran), tidak juga menulis satu tulisan dengan tanganmu, (andai kata kamu pernah membaca dan menulis) pasti akan benar-benar ragulah orang yang mengingkari-(mu)" (QS Al-'Ankabut [29]: 48).   Ayat ini secara pasti menyatakan bahwa beliau Saw. adalah orang yang tidak pandai membaca dan menulis. Banyak ulama yang memahami bahwa kendatipun kemudian Nabi Saw. menganjurkan umatnya belajar membaca dan menulis, namun beliau sendiri tidak melakukannya, karena Allah Swt. ingin menjadikan beliau sebagai bukti bahwa informasi yang diperolehnya benar-benar bukan bersumber dari manusia, melainkan dari Allah Swt.   Ada juga ulama yang memahami bahwa ketidakmampuan beliau membaca hanya terbatas sampai sebelum terbukti kebenaran ajaran Islam. Setelah kebenaran Islam terbukti -setelah hijrah ke Madinah- beliau telah pandai membaca. Menurut pendukungnya ide ini dikuatkan antara lain oleh kata "sebelumnya" yang terdapat pada ayat di atas.   Memang, kata ummi hanya ditemukan dua kali dalam Al-Quran (QS Al-A'raf [7] 157 dan 158) , dan keduanya menjadi sifat Nabi Muhammad Saw. Memang kedua ayat itu turun di Makkah, meskipun ada juga ayat lain yang turun di Madinah menyatakan,   "Dia (Allah) yang mengutus kepada masyarakat ummiyyin (buta huruf), seorang Rasul di antara mereka" (QS Al-Jum'ah [62]: 2)   Di sisi lain, harus disadari bahwa masyarakat beliau ketika itu menganggap kemampuan menulis sebagai bukti kelemahan seseorang.   Pada masa itu sarana tulis-menulis amat langka, sehingga masyarakat amat mengandalkan hafalan. Seseorang yang menulis dianggap tidak memiliki kemampuan menghafal, dan ini merupakan kekurangan. Penyair Zurrummah pernah ditemukan sedang menulis, dan ketika ia sadar bahwa ada orang yang melihatnya, ia bermohon,   "Jangan beri tahu siapa pun, karena ini (kemampuan menulis) bagi kami adalah aib."   Memang, nilai-nilai dalam masyarakat berubah, sehingga apa yang dianggap baik pada hari ini, boleh jadi sebelumnya dinilai buruk. Pada masa kini kemampuan menghafal tidak sepenting masa lalu, karena sarana tulis-menulis dengan mudah diperoleh.   Masa Kenabian   Pada usia 40 tahun, yang disebut oleh Al-Quran surat Al-Ahqaf ayat 15 sebagai usia kesempurnaan, Muhammad Saw. diangkat menjadi Nabi. Ditandai dengan turunnya wahyu pertama Iqra' bismi Rabbik.   Sebelumnya beliau tidak pernah menduga akan mendapat tugas dan kedudukan yang demikian terhormat. Karena itu ditemukan ayat-ayat Al-Quran yang menguraikan sikap beliau terhadap wahyu dan memberi kesan bahwa pada mulanya beliau sendiri "ragu" dan gelisah mengenai hal yang dialaminya. QS Yunus (10): 94 mengisyaratkan bahwa,   "Kalau engkau ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Kitab Suci sebelum kamu (QS Yunus [10]: 94).
 

Kegelisahan itu bertambah besar pada saat wahyu yang beliau nanti-nantikan tidak kunjung datang, hingga menurut beberapa riwayat beliau sedemikian gelisah, sampai-sampai konon beliau hampir saja mencelakakan dirinya. Rupanya Allah Swt. bermaksud menjadikan beliau lebih merindukan lagi "sang kekasih dan firman-firman-Nya" agar semakin mantap cinta beliau kepada-Nya.   Surat Adh-Dhuha menyatakan sekelumit hal itu, sekaligus sekilas kedudukan beliau di sisi Allah. Surat ini turun berkenaan dengan kegelisahan Nabi Muhammad Saw. karena ketidakhadiran Malaikat Jibril membawa wahyu setelah sekian kali sebelumnya datang.   "Demi adh-dhuha, dan malam ketika hening. Tuhanmu tidak meninggalkan kamu dan tidak pula membenci-(mu dan siapa pun).   Mengapa adh-dhuha -yakni "matahari ketika naik sepenggalah"-yang dipilih berkaitan dengan wahyu-wahyu yang diterima oleh Nabi Saw., atau apakah adh-dhuha ada kaitannya dengan ketidakhadiran wahyu-wahyu Ilahi?   Ketika matahari naik sepenggalah, cahayanya memancar menerangi seluruh penjuru. Cahayanya tidak terlalu terik, sehingga tidak menyebabkan gangguan sedikit pun, bahkan panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan, dan kesehatan.   Di sini Allah Swt. melambangkan kehadiran wahyu selama ini sebagai kehadiran cahaya matahari yang sinarnya demikian jelas, menyegarkan, dan menyenangkan. Sedangkan ketidakhadiran wahyu dinyatakan dengan kalimat, "Demi malam ketika hening."   Dari kedua hal yang bertolak belakang itu, Allah menafikan dugaan atau tanggapan yang menyatakan bahwa Muhammad Saw. telah ditinggalkan oleh Tuhannya, atau bahkan Tuhan telah membencinya. Kehadiran malam tidak menjadikan seseorang boleh berkata bahwa matahari tidak akan terbit lagi, karena kenyataan sehari-hari membuktikan kekeliruan ucapan seperti itu. Nah, ketidakhadiran wahyu beberapa saat tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa wahyu tidak akan hadir lagi atau Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya.   Ketidakhadiran antara lain menjadi isyarat kepada Nabi Muhammad Saw. untuk beristirahat, karena "malam" dijadikan Tuhan sebagai waktu "beristirahat."   Dapat juga dikatakan bahwa ketidakhadiran wahyu justru pada saat Nabi Muhammad menanti-nantikannya, membuktikan bahwa wahyu adalah wewenang Tuhan sendiri. Walaupun keinginan Nabi Saw. meluap-luap menantikan kehadirannya, namun jika Tuhan tidak menghendaki, wahyu tidak akan datang. Ini membuktikan bahwa wahyu bukan merupakan hasil renungan atau bisikan jiwa.   Kenabian Muhammad Saw. bukan merupakan hal yang baru bagi umat manusia. Nabi Muhammad secara tegas diperintahkan untuk menyatakan hal itu,   "Katakanlah, 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul. Aku tidak mengetahui yang diperbuat terhadapku, tidak juga terhadapmu. Aku tidak lain hanya mengikuti yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.'" (QS Al-Ahqaf [46]: 9)   Namun demikian' kenabian Muhammad Saw. berbeda dengan kenabian utusan Tuhan yang lain. Sebelum beliau, para Nabi dan Rasul diutus untuk masyarakat dan waktu tertentu, tetapi Nabi Muhammad Saw. diutus untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat,   "Katakanlah (hai Muhammad), 'Wahai seluruh manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kamu semua'" (QS Al-A'raf [7]: 158)   Ada sementara orientalis yang menduga bahwa pada mulanya Nabi Muhammad Saw. hanya bermaksud mengajarkan agamanya kepada orang-orang Arab, tetapi setelah beliau berhasil di Madinah, beliau memperluas dakwahnya untuk seluruh manusia.   Pendapat ini sungguh keliru, karena sejak di Makkah beliau telah menegaskan bahwa beliau diutus untuk seluruh manusia.   "Katakanlah (hai Muhammad), 'Wahai seluruh manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kamu semua.'" (QS Al-A'raf [7]: 158).   Ayat ini turun ketika Nabi Saw. sedang berada di Makkah, bahkan menurut sementara ulama, semua ayat Al-Quran yang dimulai dengan panggilan "Wahai seluruh manusia," semuanya turun di Makkah kecuali beberapa ayat.   Perbedaan yang lain adalah para nabi sebelum beliau selalu mengaitkan kenabian dengan hal-hal yang bersifat suprarasional, baik berbentuk sihir, pengetahuan gaib, mimpi-mimpi, dan lain-lain.   Isa a.s. misalnya bersabda,   "Sesungguhnya Aku telah datang kepadamu dengan membawa bukti (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat burung untuk kamu dari tanah, kemudian aku meniupnya sehingga ia menjadi burung dengan seizin Allah, dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak lahir, dan orang yang berpenyakit sopak (lepra), dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah, dan aku kabarkan kepadamu yang kamu makan dan yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah suatu tanda (mukjizat tentang kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman." (QS Ali 'Imran [3]: 49)   Dalam Perjanjian Baru, Isa a.s. juga menyatakan, "Jangan percaya padaku, jika aku tidak mengerjakan pekerjaan Bapak ..."   Demikian halnya Isa a.s. dan para nabi sebelumnya. Oleh karena itu, ketika masyarakat Arab Quraisy meminta bukti-bukti yang bersifat suprarasional, Nabi Muhammad Saw. diperintahkan untuk menyampaikan kalimat-kalimat berikut:   "Katakanlah, 'Sesungguhnya bukti-bukti itu bersumber dari Allah, sedang aku hanya pembawa peringatan yang menjelaskan.'" (QS Al-'Ankabut [29]: 50)   Dr. Nazme Luke, seorang pendeta Mesir, berkomentar bahwa menghidupkan orang mati, mengembalikan penglihatan orang buta, dan lain-lain adalah hal-hal yang sangat mengagumkan, tetapi tidak berarti apa-apa jika digunakan untuk membuktikan bahwa 2+2 = 5.   Masyarakat pada masa Isa a.s. membutuhkan bukti-bukti yang bersifat suprarasional, karena mereka belum mencapai tingkat kedewasan yang memadai. Hal ini, tulisnya, sama dengan membujuk anak kecil untuk makan, padahal jika telah dewasa, ia akan makan tanpa dibujuk.   Memang Nabi Muhammad Saw. tidak mengandalkan hal-hal yang bersifat suprarasional sebagai bukti kebenaran ajarannya.   Bukti kebenaran kenabian dan kerasulannya adalah Al-Quran dan diri beliau sendiri yang ummi (tidak pandai membaca dan menulis). Para pakar bersepakat dengan menggunakan berbagai tolok ukur untuk mengakui beliau sebagai manusia teragung yang pernah dikenal oleh sejarah kemanusiaan   Demikianlah kesimpulan Thomas Carlyle dalam bukunya On Heroes, Hero, Worship and the Heros in History dengan menggunakan tolok ukur kepahlawanan. Demikian pula Will Durant dalam The Story of Civilization in the World dengan tolok ukur hasil karya, Marcus Dodds dalam Muhammad, Buddha, and Christ, dengan tolok ukur keberanian moral, Nazme Luke dalam Muhammad Al-Rasul wa Al-Risalah dengan tolok ukur metode pembuktian ajaran, serta Michael Hart dalam bukunya tentang seratus tokoh dunia yang paling berpengaruh dalam sejarah, dengan tolok ukur pengaruh serta sederetan pakar lainnya.   "Mustahil bagi siapa pun yang mempelajari kehidupan dan karakter Muhammad (Saw.), hanya mempunyai perasaan hormat saja terhadap Nabi mulia itu. Ia akan melampauinya sehingga meyakini bahwa beliau adalah salah seorang Nabi terbesar dari sang Pencipta," demikian Annie Besant menulis dalam The Life and Teachings of Muhammad.   Dalam konteks ini Al-Quran surat Alam Nasyrah ayat 4 menyatakan,   "Sesungguhnya Kami pasti akan meninggikan namamu."   Dalam ayat lain dinyatakan:   "Wahai seluruh manusia, telah datang kepada kamu bukti yang sangat jelas dan Tuhanmu (yakni Muhammad Saw.), dan Kami telah (pula) menurunkan cahaya yang terang benderang (Al-Quran)" (QS Al-Nisa' [4]: 174).   Akhlak dan Fungsi Kenabian Muhammad Saw.   Al-Quran mengakui secara tegas bahwa Nabi Muhammad Saw. memiliki akhlak yang sangat agung. Bahkan dapat dikatakan bahwa konsideran pengangkatan beliau sebagai nabi adalah keluhuran budi pekertinya. Hal ini dipahami dari wahyu ketiga yang antara lain menyatakan bahwa:   "Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung" (QS Al-Qalam [68]: 4).   Kata "di atas" tentu mempunyai makna yang sangat dalam, melebihi kata lain, misalnya, pada tahap/dalam keadaan akhlak mulia   Seperti dikemukakan di atas, Al-Quran surat Al-An'am ayat 90 menyebutkan dalam rangkaian ayat-ayatnya 18 nama Nabi/Rasul. Setelah kedelapan belas nama disebut, Allah berpesan kepada Nabi Muhammad Saw.,   "Mereka itulah yang telah memperoleh petunjuk dari Allah, maka hendaknya kamu meneladani petunjuk yang mereka peroleh."   Ulama-ulama tafsir menyatakan bahwa Nabi Saw. pasti memperhatikan benar pesan ini. Hal itu terbukti antara lain, ketika salah seorang pengikutnya mengecam kebijaksanaan beliau saat membagi harta rampasan perang, beliau menahan amarahnya dan menyabarkan diri dengan berkata,   "Semoga Allah merahmati Musa a s. Dia telah diganggu melebihi gangguan yang kualami ini, dan dia bersabar (maka aku lebih wajar bersabar daripada Musa a s.)."   Karena itu pula sebagian ulama tafsir menyimpulkan, bahwa pastilah Nabi Muhammad Saw. telah meneladani sifat-sifat terpuji para nabi sebelum beliau   Nabi Nuh a.s. dikenal sebagai seorang yang gigih dan tabah dalam berdakwah. Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai seorang yang amat pemurah, serta amat tekun bermujahadah mendekatkan diri kepada Allah. Nabi Daud a.s. dikenal sebagai nabi yang amat menonjolkan rasa syukur serta penghargaannya terhadap nikmat Allah. Nabi Zakaria a.s., Yahya a.s., dan Isa a.s., adalah nabi-nabi yang berupaya menghindari kenikmatan dunia demi mendekatkan diri kepada Allah Swt.   Nabi Yusuf a.s. terkenal gagah, dan amat bersyukur dalam nikmat dan bersabar menahan cobaan. Nabi Yunus a. s. diketahui sebagai nabi yang amat khusyuk ketika berdoa, Nabi Musa terbukti sebagai nabi yang berani dan memiliki ketegasan, Nabi Harun a.s. sebaliknya, adalah nabi yang penuh dengan kelemahlembutan. Demikian seterusnya, dan Nabi Muhammad Saw. meneladani semua keistimewaan mereka itu.   Ada beberapa sifat Nabi Muhammad Saw. yang ditekankan oleh Al-Quran, antara lain,   "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu (umat manusia), serta sangat menginginkan kebaikan untuk kamu semua, lagi amat tinggi belas kasihannya serta penyayang terhadap orang-orang mukmin" (QS Al-Tawbah [9]: 128).   Begitu besar perhatiannya kepada umat manusia, sehingga hampir-hampir saja ia mencelakakan diri demi mengajak mereka beriman (baca QS Syu'ara [26]: 3). Begitu luas rahmat dan kasih sayang yang dibawanya, sehingga menyentuh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk-makhluk tak bernyawa.   Sebelum Eropa memperkenalkan Organisasi Pencinta Binatang, Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan,   "Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang-binatang, kendarailah dan makanlah dengan baik."   "Seorang wanita terjerumus ke dalam neraka karena seekor kucing yang dikurungnya."   "Seorang wanita yang bergelimang dosa diampuni Tuhan karena memberi minum seekor anjing yang kehausan."   Rahmat dan kasih sayang yang dicurahkannya sampai pula pada benda-benda tak bernyawa. Susu, gelas, cermin, tikar, perisai, pedang, dan sebagainya, semuanya beliau beri nama, seakan-akan benda-benda tak bernyawa itu mempunyai kepribadian yang membutuhkan uluran tangan, rahmat, kasih sayang, dan persahabatan.   Diakui bahwa Muhammad Saw. diperintahkan Allah untuk menegaskan bahwa,   "Aku tidak lain kecuali manusia seperti kamu, (tetapi aku) diberi wahyu ..." (QS Al-Kahf [18]: 110).
 

Beliau adalah manusia seperti manusia yang lain dalam naluri, fungsi fisik, dan kebutuhannya, tetapi bukan dalam sifat-sifat dan keagungannya, karena beliau mendapat bimbingan Tuhan dan kedudukan istimewa di sisi-Nya, sedang yang lain tidak demikian. Seperti halnya permata adalah jenis batu yang sama jenisnya dengan batu yang di jalan, tetapi ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh batu-batu lain. Dalam bahasa tafsir Al-Quran, "Yang sama dengan manusia lain adalah basyariyah bukan pada insaniyah." Perhatikan bunyi firman tadi: basyarun mitslukum bukan insan mitslukum.   Atas dasar sifat-sifat yang agung dan menyeluruh itu, Allah Swt. menjadikan beliau sebagai teladan yang baik sekaligus sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi peringatan)   "Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi yang mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran di hari kemudian." (QS Al-Ahzab [33]: 2l).   Keteladanan tersebut dapat dilakukan oleh setiap manusia, karena beliau telah memiliki segala sifat terpuji yang dapat dimiliki oleh manusia   Dalam konteks ini, Abbas Al-Aqqad, seorang pakar Muslim kontemporer menguraikan bahwa manusia dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe: seniman, pemikir, pekerta, dan yang tekun beribadah.   Sejarah hidup Nabi Muhammad Saw. membuktikan bahwa beliau menghimpun dan mencapai puncak keempat macam manusia tersebut. Karya-karyanya, ibadahnya, seni bahasa yang dikuasainya, serta pemikiran-pemikirannya sungguh mengagumkan setiap orang yang bersikap objektif. Karena itu pula seorang Muslim akan kagum berganda kepada beliau, sekali pada saat memandangnya melalui kacamata ilmu dan kemanusiaan, dan kedua kali pada saat memandangnya dengan kacamata iman dan agama.   Banyak fungsi yang ditetapkan Allah bagi Nabi Muhammad Saw., antara lain sebagai syahid (pembawa berita gembira dan pemberi peringatan) (QS Al-Fath [48]: 8), yang pada akhirnya bermuara pada penyebarluasan rahmat bagi alam semesta.   Di sini fungsi beliau sebagai syahid/syahid akan dijelaskan agak mendalam.   Demikian itulah Kami jadikan kamu umat pertengahan, agar kamu menjadi saksi terhadap manusia, dan agar Rasul (Muhammad Saw.) menjadi saksi terhadap kamu ... (QS Al-Baqarah [2]: 143)   Kata syahid/syahid antara lain berarti "menyaksikan," baik dengan pandangan mata maupun dengan pandangan hati (pengetahuan). Ayat itu menjelaskan keberadaan umat Islam pada posisi tengah, agar mereka tidak hanyut pada pengaruh kebendaan, tidak pula mengantarkannya membubung tinggi ke alam ruhani sehingga tidak berpijak lagi di bumi. Mereka berada di antara keduanya (posisi tengah), sehingga mereka dapat menjadi saksi dalam arti patron/teladan dan skala kebenaran bagi umat-umat yang lain, sedangkan Rasulullah Saw. yang juga berkedudukan sebagai syahid (saksi) adalah patron dan teladan bagi umat Islam. Kendati ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut berarti bahwa Nabi Muhammad Saw. akan menjadi saksi di hari kemudian terhadap umatnya dan umat-umat terdahulu, seperti bunyi firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Nisa' (4): 41:   Maka bagaimanakah halnya orang-orang kafir nanti apabila Kami menghadirkan seorang saksi dari tiap-tiap umat dan Kami hadirkan pula engkau (hai Muhammad) sebagai saksi atas mereka (QS Al-Nisa, [4]: 41).   Tingkat syahadat (persaksian) hanya diraih oleh mereka yang menelusuri jalan lurus (shirath al-mustaqim), sehingga mereka mampu menyaksikan yang tersirat di balik yang tersurat. Mereka yang menurut Ibnu Sina disebut "orang yang arif," mampu memandang rahasia Tuhan yang terbentang melalu qudrat-Nya. Tokoh dari segala saksi adalah Rasulullah Muhammad Saw. yang secara tegas di dalam ayat ini dinyatakan "diutus untuk menjadi syahid (saksi)."   Sikap Allah Swt. terhadap Nabi Muhammad Saw.   Dari penelusuran terhadap ayat-ayat Al-Quran ditemukan bahwa para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. telah diseru oleh Allah dengan nama-nama mereka; Ya Adam..., Ya Musa..., Ya Isa..., dan sebagainya. Tetapi terhadap Nabi Muhammad Saw., Allah Swt. sering memanggilnya dengan panggilan kemuliaan, seperti Ya ayyuhan Nabi..., Ya ayyuhar Rasul..., atau memanggilnya dengan panggilan-panggilan mesra, seperti Ya ayyuhal muddatstsir, atau ya ayyuhal muzzammil (wahai orang yang berselimut). Kalau pun ada ayat yang menyebut namanya, nama tersebut dibarengi dengan gelar kehormatan. Perhatikan firman-Nya dalam surat Ali-'Imran (3): 144, Al-Ahzab (33): 40, Al-Fat-h (48): 29, dan Al-Shaff (61): 6.   Dalam konteks ini dapat dimengerti mengapa Al-Quran berpesan kepada kaum mukmin.   "Janganlah kamu menjadikan panggilan kepada Rasul di antara kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain... (QS Al-Nur [24]: 63).   Sikap Allah kepada Rasul Saw. dapat juga dilihat dengan membandingkan sikap-Nya terhadap Musa a.s.   Nabi Musa a.s. bermohon agar Allah menganugerahkan kepadanya kelapangan dada, serta memohon agar Allah memudahkan segala persoalannya.   "Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah untukku urusanku (QS Thaha [20]: 25-26).   Sedangkan Nabi Muhammad Saw. memperoleh anugerah kelapangan dada tanpa mengajukan permohonan. Perhatikan firman Allah dalam surat Alam Nasyrah, Bukankah Kami telah melapangkan dadamu? (QS Alam Nasyrah [94]: 1).   Dapat diambil kesimpulan bahwa yang diberi tanpa bermohon tentunya lebih dicintai daripada yang bermohon, baik permohonannya dikabulkan, lebih-lebih yang tidak.   Permohonan Nabi Musa a.s. adalah agar urusannya dipermudah, sedangkan Nabi Muhammad Saw. bukan sekadar urusan yang dimudahkan Tuhan, melainkan beliau sendiri yang dianugerahi kemudahan. Sehingga betapapun sulitnya persoalan yang dihadapi -dengan pertolongan Allah-beliau akan mampu menyelesaikannya. Mengapa demikian? Karena Allah menyatakan kepada Nabi Muhammad dalam surat Al-A'la (87): 8:   "Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah."   Mungkin saja urusan telah mudah, namun seseorang, karena satu dan lain sebab-tidak mampu menghadapinya. Tetapi jika yang bersangkutan telah memperoleh kemudahan, walaupun sulit urusan tetap akan terselesaikan.   Keistimewaan yang dimiliki beliau tidak berhenti di sana saja. Juga dengan keistimewaan kedua, yaitu "jalan yang beliau tempuh selalu dimudahkan Tuhan" sebagaimana tersurat dalam firman Allah, "Dan Kami mudahkan kamu ke jalan yang mudah." (QS Al-A'la [87]: 8).   Dari sini jelas bahwa apa yang diperoleh oleh Nabi Muhammad Saw. melebihi apa yang diperoleh oleh Nabi Musa a.s., karena beliau tanpa bermohon pun memperoleh kemudahan berganda, sedangkan Nabi Musa a.s. baru memperoleh anugerah "kemudahan urusan" setelah mengajukan permohonannya.   Itu bukan berarti bahwa Nabi Muhammad Saw. dimanjakan oleh Allah, sehingga beliau tidak akan ditegur apabila melakukan sesuatu yang kurang wajar sebagai manusia pilihan.   Dari Al-Quran ditemukan sekian banyak teguran-teguran Allah kepada beliau, dari yang sangat tegas hingga yang lemah lembut   Perhatikan teguran firman Allah ketika beliau memberi izin kepada beberapa orang munafik untuk tidak ikut berperang.   "Allah telah memaafkan kamu. Mengapa engkau mengizinkan mereka? (Seharusnya izin itu engkau berikan) setelah terbukti bagimu siapa yang berbohong dalam alasannya, dan siapa pula yang berkata benar (QS Al-Tawbah [9]: 43)   Dalam ayat tersebut Allah mendahulukan penegasan bahwa beliau telah dimaafkan, baru kemudian disebutkan "kekeliruannya."   Teguran keras baru akan diberikan kepada beliau terhadap ucapan yang mengesankan bahwa beliau mengetahui secara pasti orang yang diampuni Allah, dan yang akan disiksa-Nya, maupun ketika beliau merasa dapat menetapkan siapa yang berhak disiksa.   "Engkau tidak mempunyai sedikit urusan pun. (Apakah) Allah menerima tobat mereka atau menyiksa mereka (QS Ali 'Imran [3]: 128).   Perhatikan teguran Allah dalam surat 'Abasa ayat 1-2 kepada Nabi Muhammad Saw., yang tidak mau melayani orang buta yang datang meminta untuk belajar pada saat Nabi Saw. sedang melakukan pembicaraan dengan tokoh-tokoh kaum musyrik di Makkah   "Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya..."   Teguran ini dikemukakan dengan rangkaian sepuluh ayat, dan diakhiri dengan:   "Sekali-kali jangan (demikian). Sesungguhnya ajaran-ajaran Allah adalah suatu peringatan" (QS 'Abasa [80]: 11).   Nabi berpaling dan sekadar bermuka masam ketika seseorang mengganggu konsentrasi dan pembicaraan serius pada saat rapat; hakikatnya dapat dinilai sudah sangat baik bila dikerjakan oleh manusia biasa. Namun karena Muhammad Saw. adalah manusia pilihan, sikap dernikian itu dinilai kurang tepat, yang dalam istilah Al-Quran disebut zanb (dosa).   Dalam hal ini ulama memperkenalkan kaidah: Hasanat al-abrar, sayyiat al-muqarrabin, yang berarti "kebajikan-kebajikan yang dilakukan oleh orang-orang baik, (dapat dinilai sebagai) dosa (bila diperbuat oleh) orang-orang yang dekat kepada Tuhan."   --oo0oo--   Disadari sepenuhnya bahwa uraian tentang Nabi Muhammad Saw. amat panjang, yang dapat diperoleh secara tersirat maupun tersurat dalam Al-Quran, maupun dari sunnah, riwayat, dan pandangan para pakar. Tidak mungkin seseorang dapat menjangkau dan menguraikan seluruhnya, karena itu sungguh tepat kesimpulan yang diberikan oleh penyair Al-Bushiri,   "Batas pengetahuan tentang beliau, hanya bahwa beliau adalah seorang manusia, dan bahwa beliau adalah sebaik-baik makhluk Allah seluruhnya."   Allahumma shalli wa sallim 'alaih.

 


WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net